Malam menjelang. Denise tidur di pangkuanku setelah berceloteh seharian. Bertanya banyak tentang Amerika. Kadang bercerita anak laki-laki mana yang dia tonjok hari ini. Sementara ibunya, Winda menghampiriku sambil membawa sebotol minuman. Bourbon murahan yang tidak asing.
“Aku mengambilnya diam-diam dari Villa, hahahaha! Mumpung gratis,” ucapnya berbahasa Inggris.
Wanita itu kikir juga.
“Mau mengajakku bermain kejujuran lagi? Aku tak punya uang,” balasku ogah-ogahan.
Winda terkekeh. Dia tuangkan bourbon itu ke sloki kecil yang dia curi dari Villa dan memintaku meminumnya.
“Sepertinya, aku harus jujur padamu tentang siapa aku dan apa hubungan kita,” ujarnya tidak terduga.
Dahiku sontak terkernyit. Seharusnya baru besok dia cerita. Winda nampak gelisah saat aku meliriknya. Nampaknya, wanita itu hanya terbuka dengan alkohol.
“Baiklah Winda, malam ini akan sangat panjang.” Aku ikut meminumnya.
Pertanyaannya, kenapa aku di sana sampai malam?
Semua gara-gara Denise. Gadis itu terlalu lengket kepadaku. Dia tidak mau aku pulang lebih awal dan seenaknya memaksa menginap. Sudah pasti aku menolak.
Hasilnya?
Kunci motorku dia buang ke dalam sumur.
“Danny, aku dulu sangat yakin kamu tumbuh jadi pria tampan. Ternyata benar-benar tampan. Ck! Sayang sekali kamu ada yang punya,” ujar Winda setelah meminum sloki kedua.
“Tahan dulu, Nona." Kucegah saat dia menyulut rokok.
“Kenapa? Aku pikir kamu terbiasa dengan perokok. Apa semua orang Amerika benci perokok?”
Kulirik sosok Denise di pangkuanku.
“Aku tak keberatan dikelilingi perokok. Aku juga pernah jadi perokok. Tapi jangan merokok di sebelah anak kecil.”
Winda tersenyum simpul. Dia melirik kamar, memintaku menggendong puterinya ke kamar itu. Di negaraku sangat ketat soal rokok. Apalagi jika di dekat anak kecil. Aku yakin di Indonesia peraturannya sama.
“Maaf, aku gelisah berduaan dengan pria seseksi kamu. Aku tak pernah disentuh lelaki sejak Denise dalam kandungan.”
“Jangan mulai, Winda.” Aku gelisah sendiri saat dia agak menarik ujung dasternya.
Wanita itu sontak terkekeh. Aku merasa bukan kali ini saja di pernah menggodaku. Sikap itu sangat familiar. Winda makin terbuka saat dia menyalakan rokok, memindaiku yang masih juga telanjang dada.
Sumpah.
Grajagan seperti neraka.
“Tidak masalah aku telanjang dada?”
“Bukannya kamu lihat sendiri di sekitar kita? Grajagan wilayah pantai, Tuan Wilson.”
Bibirku tersenyum geli. Bahkan warga lokalpun tidak tahan dengan suhu desa sendiri. Kebanyakan telanjang dada. Apalagi para nelayan. Aku sering lihat mereka jalan-jalan dengan hanya pakaian dalam.
“Danny, aku akan bicara sekarang.” Dia hembuskan asapnya ke langit-langit. Bicara santai dengan wajah menegadah. “Aku bukan Mulyani. Aku serius soal itu. Gara-gara kamu, nama itu sudah tak ada lagi di desa ini.”
Aku enggan menduga-duga seperti kemarin. Terserahlah apa katanya. Aku capek jadi Sherlock Holmes.
“Terus, kalau kamu bukan Mulyani, kamu siapa?”
Winda taruh kakinya di atas meja dengan gaya selengekan.
“Sebelum bertanya, jawab dulu pertanyaanku. Kenapa baru sekarang kamu pulang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...