"Huwaaaaa! Pokoknya mau ikuuut!"
John F Kennedy, di ramainya terminal internasional, aku sulit berjalan karena kakiku dipegangi seseorang. Catherine merengek-rengek di atas lantai seperti anak kecil. Watak manjanya keluar lagi saat aku mau berangkat.
"Aku mau ikoot!"
"Bisakah kau diam?"
"Pokoknya mau ikoot!"
Catherine sudah sesegukan sejak mengantarku dari rumah. Saat ini jadi histeris. Michael sampai malu menenangkannya. Aku pun menahan malu saudariku jadi tontonan penghuni bandara. Tangannya masih memegang kakiku sampai terserat beberapa yard.
"Aku tak mau makan kalau kamu tinggal!"
"Nanti kubelikan boneka kucing sebesar rumah. Dan di Indonesia nanti aku pelihara kucing banyak. Kucing liar. Berhentilah merengek-rengek."
Rayuanku sama sekali tidak efektif. Catherine tak mau berdiri walau Megan ikut membujuk.
"Pokoknya aku mau ikut!"
Si cantik itu mengusap mata dengan punggung tangan. Ingusnya sampai keluar. Dia ambil sesuatu dari tasnya sendiri, boneka kucing berwarna pink, yang kubelikan saat kami masih kecil.
"Berjanji sama Momo! Ajak aku ke Indonesia sekarang juga!" Dia kaitkan boneka jelek itu ke koperku.
"Kamu tak malu sama dia?" ujarku sambil melirik seorang pria yang baru tiba.
Thomas, asistenku di BCW, terlalu menawan sampai Catherine jaga sikap secepat mungkin. Gadis itu langsung sembunyi di belakang Michael karena jaim . Karena dari semua pria, hanya si penggerutu itu yang membuatnya bertekuk lutut.
"Bisakah kau berhenti menjadikanku bahan mengancam si cengeng itu?" Thomas langsung protes.
"Bisakah kau kencani saudariku? Dia naksir kamu."
"Enggakkk! Aku gak naksir!" Si rambut merah itu nyolot.
Thomas menyilangkan tangan di depan dadanya. Dia putar bola mata dan mendengus seperti biasa.
"Separuh dari agenda kerjamu akan kutangani."
"Kencani saudariku."
"Nikmati liburanmu, Tuan Wilson. Kami berharap banyak untuk ini." Thomas tak menggubrisnya.
"Aku tak keberatan kau ajak menginap."
"Ck! Aku bukan baby sitter."
Pria itu memang "agak lain" sampai-sampai gadis secantik Catherine tak menarik sedikitpun.
"Ingat, nikmati liburanmu. Aku tak mau diomeli Megan kalau sampai anda menyentuh pekerjaan."
Thomas pergi menjauh setelah memastikan seluruh pekerjaanku dia tangani. Sedangkan Catherine, dia senyum-senyum saat Thomas berbicara dengan ayahku. Fokusnya benar-benar teralih. Dia bahkan tak protes saat Megan menghampiriku, memberi gestur minta dipeluk.
"Danny, aku akan sangat merindukanmu."
"Ow, berapa lama kau berlatih ucapkan itu?"
Plak!
Megan memberiku tamparan kecil.
Setelah itu menciumku dengan tatapan yang sangat lain.
"Danny, enam bulan lagi aku ke Indonesia."
"Memastikanku tak main perempuan?"
"Kita tak punya hubungan apa-apa, Tuan Wilson."
"Apa perlu dimulai sekarang?"
"Kita bisa bicarakan itu di depan notaris."
Di balik sifat "anti lelaki," si feminist itu makin mesra belakangan ini. Kami berciuman agak lama di depan pintu check in, menikmati detik-detik tersisa sebelum berpisah sekian lama. Tangannya meraih tanganku dan menuntunnya ke pantatnya sendiri. Setelah itu meraih pipiku dan menciumku lebih lama lagi. Megan tak peduli walau kami jadi tontonan banyak orang.
Terutama pasangan atletis di sebelah kami. Yang satu pria asia berkacamata, sementara satunya gadis ramping berpupil hazel.
"Bisakah kau semesra mereka? Aku capek kode-kodean."
"Ayo lah, Re. Ini tempat umum."
"Kita sudah menikah, Jimboy. Kapan kita punya anak kalau kamu tidak agresif?"
"Anak kita sudah satu! Dan Mickey belum setahun!"
Tak kugubris obrolan mereka. Terlebih saat Megan kian meraih dua pipiku, seakan-akan tak membiarkan ciuman kami harus berakhir. Badannya sampai kugendong saling menghadap. Walau tak ada kata dari bibirnya, pupil birunya berkaca-kaca saat kakiku mulai melangkah ke ruang boarding.
"Danny, jangan lupa, kamu orang Amerika. Jangan terpikat perempuan sana."
***
"Bu Diana hamil ketiga loh, dan Fitria anaknya sudah dua."
"Bisakah kita berhenti bahas ini?
"Saudara tiri kita saja sudah dua."
"Kamu lihat Mickey?" Si pria berkacamata memamerkan bayi lucu bermata hazel. "Dia kekurangan ASI karena dadamu yang kecil itu. Masa dibagi lagi?"
"Kamu mau mati?"
Di kabin pesawat, kulirik pasangan muda yang ternyata satu tujuan bersamaku. Mereka bicara menggunakan bahasa aneh. Bukan lagi Bahasa Inggris seperti tadi. Sepertinya Bahasa Indonesia. Aku pikir yang laki-laki dari Korea atau dimanalah. Sedangkan yang perempuan seperti campuran Irlandia dengan Jepang.
Sekilas, kurasakan nuansa bahagia walau mereka sedang bertengkar. Aku tertegun. Interaksi itu terlalu asing untuk orang yang alergi pernikahan.
Apa aku akan bahagia setelah menikah?
Ting Tong!
"Ladies and gentlemen, welcome onboard Flight DL9013 with service from New York to Incheon. We are currently third in line for take-off and are expected to be in the air in approximately seven minutes time. We ask that you please fasten your seatbelts at this time and secure all baggage underneath your seat or in the overhead compartments. We also ask that your seats and table trays are in the upright position for take-off. Please turn off all personal electronic devices, including laptops and cell phones. Smoking is prohibited for the duration of the flight. Thank you for choosing Delta Airlines. Enjoy your flight."
Pesawat pada akhirnya lepas landas. Kulihat nanar Patung Liberty yang makin lama makin mengecil. Begitu pula pencakar langit di hamparan tanah Manhattan. Semenanjung New York telah berganti hamparan awan musim dingin. Tak ada apapun yang bisa kulihat selain gejolak hatiku sendiri.
Perjalanan itu seperti perjalanan spiritual. Bibirku tak berhenti tersenyum, seakan-akan ada bagian dari diriku yang tak sabar segera pulang. Apalagi saat kuraih foto tua di sakuku. Kulihat lagi wajah kecilku di foto itu. Ternyata aku dulu hitam dan kurus. Dan setelah kuamati, tepat di dahi si Danny kecil, nampak jelas bekas jahitan yang masih baru.
Tanpa sadar kuraba dahiku sendiri. Meraba bekas luka yang aku lupa karena apa. Setelah itu mengamati foto gadis kecil yang dari kemarin membuatku tersenyum sendiri.
Apa aku ingat namanya?
Tidak. Tapi aku tahu namanya dari tulisan di balik foto, yang nampaknya tulisanku sendiri semasa kecil. Sebuah tulisan "Dani Sayang Mulyani" di antara lambang hati. Aku geli sendiri setelah menterjemahkannya.
Aku sayang dia?
Mungkin gadis bernama Mulyani itu pacar pertamaku atau entahlah. Walau tak mengingatnya, ada bagian dari diriku yang sangat rindu pada gadis itu.
Iya, aku rindu kepadanya.
"Mulyani, bagaimana kabarmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...