Sore itu langitnya jingga seperti kemarin. Suara mualik menggema merdu dan disusul adzan maghrib. Tanda bahwa kami selesai mengaji. Para santri duduk berbaris sambil membawa bacaan mereka. Kami cium tangan Pak Totok, satu-satunya guru ngaji di desa kami.
Desa Grajagan.
"Dani, kamu masih enam tahun. Tapi sudah khatam Iqro lima. Tak lama lagi bisa baca Al Quran. Belajar yang rajin ya, Nak?"
"Iya, Pak Ustadz."
Dengan senyum kalemnya, Pak Ustadz menyuruhku iqomat di baris depan. Pria 40 tahunan itu segera beranjak dan menjadi seorang imam. Kami sholat berjamaah seperti biasa. Dan seperti biasa pula, seusainya sholat maghrib, aku pulang sambil menenteng Iqro baru pemberiannya.
"Horee! Mulai besok Iqro enam!" Kuangkat iqro itu tinggi-tinggi di udara.
Seperti itulah keseharianku di Mushalla Dia sana selalu nyaman karena Pak Totok sangat baik. Jangankan mengaji ashar, ngaji subuhpun tak pernah bolos. Apalagi sholat lima waktu. Karena katanya, aku dapat pahala kalau ibadah tak bolong-bolong.
"Sekarang pahalaku berapa, ya?" Di sepanjang perjalanan pulang, aku coba menghitungnya.
Langit semakin gelap dan desaku semakin sepi. Rumah-rumah mulai terang setelah warga menghidupkan lampu minyak. Atau memompa petromak. Sebagian lagi lampu listrik dari mesin milik Pak Kasun. Semuanya sudah menyala kecuali rumahku. Padahal sudah mau isya.
Sepertinya, malam ini, ayahku meneguk lagi minuman bau seperti kemarin.
"Rini! Kamu istri tak tahu aturan! Awas kau pulang!"
Aku berjalan mengendap-endap di samping rumah. Sebisa kuhindari ayah yang berteriak di ruang tamu. Padahal tak ada orang di rumah kami. Dan ibu pun masih kerja di Pulau Bali. Tapi ayahku masih juga menyebut namanya seperti orang kerasukan.
"Istri itu harus tunduk sama suami, Rini! Derajat perempuan itu di bawah laki-laki! Kamu tahu, hah?"
Aku takut. Cepat-cepat kumasuk kamar melalui pintu dapur. Lebih tepatnya kamar belakang dimana Nenek ada di sana. Sesegera mungkin kucium tangannya dan memamerkan buku baruku.
"Nek, aku khatam Iqro lima. Mulai besok Iqro enam."
Nenekku hanya tersenyum. Dia berusaha membelai rambutku saat badannya sedang merebah. Telapak tangannya terasa panas. Aku bingung karena nenek sedang tak baik.
"Nenek kenapa?"
"Nenek tidak apa-apa. Tole lapar?"
Aku mengangguk cepat karena perutku memang lapar. Nenek mulai beranjak dengan badan agak gemetar. Sedikit merintih saat duduk di tepi ranjang.
"Nenek kok panas?"
Nenek taruh jari telunjuk ke bibirnya sendiri. Ayahku masih teriak tidak jelas. Kali ini suaranya di belakang rumah. Dia tegur nenekku sambil melempar sebuah piring.
Prang!
"Sudah malam belum masak? Aku kelaparan!" bentaknya dari dapur.
Aku takut. Tapi nenek menenangkanku. Beliau tersenyum lembut dan berdiri dari ranjangnya.
Masih gemetar.
Badannya masih panas.
"Bantu nenek nyalakan kompor ya, Le?"
Aku semakin cemas karena nenek semakin aneh.
"Ayo masak! Tunggu apa lagi? Kamu ini ibu macam apa sih?" Ayah masuk kamar dan membentaknya.
Aku lari ke dapur saat ayah mulai kasar. Secepat mungkin kuambil pipa dan korek api, tak lupa pula minyak tanah agar kayunya mudah terbakar. Dan setelah menyala, kutiup-tiup lubang tungku itu agar kayunya menjadi bara. Aku harus melakukannya demi membantu nenek masak. Karena jika tidak, ayahku bisa memukulnya seperti kemarin. Apalagi saat ini kondisi nenek sedang aneh.
Akan tetapi, setelah sekian lama, ayah tidak teriak. Bicara juga tidak. Suara nenekpun sudah tak ada. Aku semakin heran karena mendengar suara tangisan.
Tangisan ayahku.
"Bu, bangun Bu, maafkan aku, Bu ...."
***
Seminggu sejak nenek meninggal, aku masih mengaji. Kali ini mengaji di kamar sambil tangisi kepergiannya. Aku tak mau nenek meninggal. Tapi Pak Totok bilang, aku harus mau. Katanya itu takdir. Lebih baik aku mengaji agar nenek bisa ke surga. Meski di saat yang sama, saat aku mengaji, dua orang sedang bertengkar.
"Kamu ini bagaimana, Mas Kus? Ibu sakit kok gak ngasih kabar? Tahu begini ibu ikut aku ke Sidoarjo."
"Kamu belum menikah, Suk. Kamu belum dewasa. Belum tahu kehidupan."
"Tapi aku bekerja, Mas. Tidak seperti kamu. Sekarang apa? Ibu meninggal, Mas! Ibu meninggal!" Pamanku terdengar menangis di luar kamar.
Paman Sukardi, adik ayahku yang tinggal di tempat jauh, langsung datang setelah tetangga mengabarinya. Mereka masih bertengkar di ruang tamu gara-gara kematian nenek. Aku takut keluar kamar. Ayahku masih kasar. Terlebih, namaku sering disebut setiap kali sedang berdebat.
"Dani bagaimana? Siapa yang asuh dia? Rini gak pernah pulang."
"Ya kamu, Mas. Kamu ayahnya. Kamu gak merasa bertanggung jawab?"
"Mengasuh anak itu pekerjaan perempuan, Suk. Kamu belum menikah. Belum tahu rasanya."
Kuletakkan Iqro lima ke tempatnya. Aku takut. Ayahku sering memukul sambil menyebut nama ibu. Ibu pun suka memukul sambil menyebut nama ayahku. Kata mereka, aku biang sial. Mereka sering bilang seharusnya aku tak lahir.
Aku tak tahu maksudnya apa.
Aku juga tak tahu kenapa nenek meninggalkanku saat aku membutuhkannya.
"Nek, aku lapar. Sejak pagi belum makan. Kalau Nenek di surga, nanti yang masak siapa? Yang cari kayu siapa? Yang menidurkanku setiap malam siapa? Aku kangen, Nek."
Aku menangis sendirian di dalam kamar. Mengingat lagi wajah keriputnya kemarin-kemarin. Atau cara berjalannya yang agak bungkuk. Padahal, aku sudah berdoa semoga Allah mengembalikan nenekku lagi. Tapi nenek tak pernah pulang.
"Nek, pulang dong Nek. Aku takut ..."
Selama ada nenek, aku tak keberatan punya ayah suka mabuk. Atau punya ibu yang juga suka memukulku. Aku sudah terbiasa. Tapi sejak nenek tak ada, aku mulai ketakutan saat ayah masuk kamar. Tak ada lagi yang menghalanginya saat dia meraih kakiku dan menyeretku ke ruang tamu.
"Berhenti menangis!"
Aku hanya bisa meringkuk saat ayah melepas sabuk dan mencambukkannya ke punggungku. Bisa kurasakan punggungku berdarah saat kulitku kena besinya. Tapi ayah tidak puas. Badanku dia tendang seperti bola dan mencambukku sekeras-kerasnya.
"Ampun, Yah!"
"Berhenti menangis! Kamu sama saja seperti Rini yang lonte itu! Bikin malu!"
Nenek, aku salah apa?
Kenapa ayah suka marah sambil menyebut nama ibu?
Lonte itu apa?
Ibu kenapa?
"Mas! Sudah Mas!"
Paman Sukardi yang baru datang, langsung mendorong ayah dan berusaha menahannya. Tapi ayahku justu mengambil kayu bakar. Sepertinya, dia berniat memukuliku lagi dengan kayu. Aku tak mau berdarah-darah seperti kemarin.
"Gara-gara anak ini aku sengsara! Gara-gara dia ibu meninggal! Kesini kau!"
"Mas!"
Bukan hanya paman, beberapa warga juga memegangnya. Menenangkan ayah yang makin kasar. Sebagian bahkan memarahinya. Tapi ayah masih juga berusaha memukulku.
Nenek, aku salah apa?
Kenapa mereka bilang, aku tak pantas dilahirkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomantizmDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...