Pria normal menyukai belahan dada. Apalagi dada besar milik Winda. Tapi aku ngeri sendiri setelah ingat traumaku di masa kecil.
Iya! Dia pasti kakak Mulyani. Dialah orang pertama yang ingin menikahiku setelah dewasa. Dia pula yang hobi membenamkan kepalaku ke dadanya yang besar itu. Aku juga ingat siapa namanya gara-gara gosip miring di warung tadi.
"Mbak Prah? Kamu Mbak Prah?"
Winda menjentikkan jarinya.
"Teng tong!"
Dia benar-benar Mbak Prah?
Mataku berkedip-kedip. Hampir mustahil wanita itu kakak Mulyani. Waktu aku delapan tahun, Mbak Prah sudah dewasa. Hampir 20-an seingatku. Dia sering menyentil burungku jika aku terlalu nakal.
"Kamu tak percaya?" Dia pamerkan KTP-nya lagi. Kali ini tidak menutupi tanggal lahir.
"44 tahun? Kok masih cantik?"
Winda membalasnya dengan picingan. Pasti sedang menyindir separah apa aku merayunya. Sampai-sampai kami hampir kejadian. Aku gelagapan setelah tahu bahwa Winda lebih mirip kakakku sendiri.
"Baiklah baiklah, sekarang katakan Mulyani ada dimana." Aku alihkan topik saking malunya.
Tiba-tiba, Winda berwajah murung. Perasaanku mulai tak enak. Dia menghela panjang sambil meraup wajahnya sendiri, berwajah sendu menatapku.
"Mulyani sudah ...."
"Jangan mulai, Winda. Jangan mulai."
Wanita itu tertawa lepas. Aku makin ingat wataknya dulu. Sosok perempuan yang paling gemas menggodaku. Ternyata, 24 tahun tidak mengubah perangainya.
"Kamu mau tahu dimana Mulyani?"
Aku mengangguk cepat. Winda melirik pintu saat seseorang mulai mengetuk. Memberi kode agar aku membukanya.
"Sana, sapa pacar pertamamu."
***
Waktu menunjukkan pukul 22:00. Kami masih ngobrol di ruang tamu bersama dua botol kosong. Winda di hadapanku, mengedipkan satu matanya, menggodaku yang masih tegang gara-gara sosok wanita di ruang dapur.
"Dia cantik, bukan?"
Aku terhenyak. Secepat mungkin kualihkan mata karena terkejut setelah tahu seperti apa Mulyani dewasa. Gadis itu telah tumbuh jadi wanita yang sangat cantik. Aku tak curiga sama sekali. Gaya Mulyani terlalu feminim. Sampai-sampai masa kecil kami sudah tak bisa kukenali lagi.
Percaya tidak percaya, ternyata guru itulah Mulyani dewasa.
"Kami memanggilnya sebagai Ayu sejak SMP. Dalam waktu 20 tahun, tak ada orang lagi yang ingat nama kecilnya. Orang hanya tahu Ayudisa Puteri." Winda bicara agak berbisik, memajukan badan sambil melirik ke arah dapur. "Dan dia belum tahu siapa kamu. Tapi sempat curiga."
"Dia ingat aku?"
"Menurutmu?" balas Winda sambil mematikan putung rokok ke dalam asbak. "Danny, perempuan tak akan melupakan cinta pertama mereka. Apalagi perempuan itu keras kepala seperti adikku. Dan kamu sudah berjanji kepadanya."
"Janji apa?"
Winda langsung melotot.
"Kamu tak ingat? Kamu dulu sudah berjanji menikahinya."
"Apa!"
"Mbak Prah, aku pulang dulu." Mulyani menegur, tepat di saat aku hampir kena serangan jantung.
Wanita itu sangat sopan untuk mau berbahasa Inggris. Dia bahkan melewati kami dengan badan agak membungkuk, khas tata krama Jawa. Sesuatu yang tak dia miliki di masa kecilnya. Mulyani senyum-senyum saat kami bertemu mata.
"Sini dong, temani Tuan Wilson. Ada cowok ganteng kok malu-malu? Masa gak capek sendirian?"
"Akhh, aku koreksi PR murid." Dia kabur duluan.
Pemalu sekali?
Winda mendongak bangga setelah Mulyani pergi. Dada besarnya terbusung. Hidung peseknya jadi mancung. Seakan-akan pamer bahwa adiknya saat ini jauh berbeda.
"Setelah kamu pergi, Ayu komitmen jadi feminim. Kamu tahu kenapa? Karena dia mau belajar jadi istrimu. Setiap lebaran dia bertanya kenapa kamu belum pulang. Dan kami hanya bilang kamu nanti pasti pulang." Winda menghela panjang. Menatap pintu keluar walau Mulyani sudah pergi meninggalkan kami. "24 tahun terlalu lama, Danny."
Jantungku masih berdegup. Saat Winda bicara, aku baru ingat untuk apa kepulanganku ke Indonesia. Aku pernah berjanji menikahi Mulyani. Aku mulai takut wanita itu masih memegang janji kecil yang menggantung sampai sekarang.
"Aku sudah memintanya melupakanmu, Danny. Tapi Ayu keras kepala. Dia selalu yakin suatu saat nanti kamu datang dan melamarnya." Winda malah menambah ketakutanku.
"Oh, jadi itu alasanmu diam-diam mencari tahu tentangku sejak di Bali? Mengajakku minum-minum, bermain kejujuran, meraba-raba responku?"
Winda tertawa lagi.
"Iya. Dan aku juga yang minta Denise menabok pantatmu, hahahaha! Dendam 24 tahun akhirnya terbalaskan. Enak?"
Pantatku sudah kapalan gara-gara anaknya.
"Danny, kamu bisa bayangkan respon Ayu jika tahu calon suaminya seorang playboy?"
"Hei, aku bukan playboy."
Winda melotot. Dia jewer dua telingaku dan mengayun-ayunkannya, memberi kesan bahwa ucapanku hanya bualan.
"Kita hampir bercinta waktu di Villa. Aku serius waktu itu. Kita hampir bercinta. Semua karena bibirmu yang manis itu. Berapa kali kamu merayuku, hah? Andai aku tak curiga kamu siapa, kita sudah begini nih!" Dia kepalkan tangan, dengan jempol diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah.
"Bukannya kamu nafsu waktu itu."
Jewerannya semakin sakit.
"Perempuan mana yang gak ngiler lihat kamu? Untung saja aku alim dan baik hati."
"Alim pantatku!" Aku meledeknya menggunakan slang Amerika.
Winda beranjak sambil tertawa. Dia mengajakku memasuki kamar tanpa pintu yang interiornya tidak berubah. Kamar itu sama persis seperti dulu. Temboknya pun masih acian semen tanpa cat, dihiasi bekas-bekas coretan kami di masa kecil. Salah satunya tulisan 'Kusuma Wardani' di tengah-tengah gambar hati.
Aku ingat, itu nama kecilku.
"Kamu tahu nama Kusuma Denisa dari siapa?"
Aku mengangguk. Pantas saja namanya familiar. Winda mendayu-dayu saat aku menolehnya.
"Iya, Denise mengambil namamu. Dia puterimu, Danny. Dan dia butuh ayah." Winda mendekatiku dan berbisik, "dia juga butuh adik."
"Jangan bercanda!"
"Hahaha! Kamu masih menggemaskan sampai sekarang."
Wanita itu pasti dendam karena aku sering merayu. Atau mungkin kesal adik laki-lakinya tumbuh besar sebagai pria tukang gombal. Sekarang, dia membalas setelah aku mengetahui identitasnya.
Tentu saja hanya bercanda.
"Malam ini tidur disitu." Wanita itu arahkan jarinya ke ranjang tingkat yang masih sama. Setelah itu menarik dasternya dan berkata, "tidur di kamarku juga boleh."
"Ayolah Winda. Iya aku tahu aku salah. Berhenti menggodaku. Aku janji jadi anak baik."
Perasaanku melankolis lagi saat mataku melihat ranjang. Aku ingat, itu ranjangku dulu bersama Mulyani. Bentuknya sama persis. Aku baru sadar ranjang itu sangat kecil. Padahal dulu terlihat besar. Aku ingat Mulyani sering turun ke bawah hanya demi memelukku.
Dan saat ini, Winda lah yang memelukku sambil menghela napas panjang.
"Dani, aku senang kamu pulang. Mulai besok tinggal di sini, ya? Selesaikan urusanmu bersama Ayu."
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...