Semua Tak Sama

791 126 6
                                    

“Jangan menghinaku!” Ayah berteriak setelah menamparnya.

“Aku baru pulang, Kus! Dan kamu menamparku?”

“Iya! Aku berhak! Apalagi menampar lonte sepertimu!”

Plak!

Seperti inikah orang menikah?

Apa nanti jika aku menikahi Mulyani, kami akan bertengkar seperti mereka?

Kalau suatu saat nanti Mulyani jadi istriku, apa dia akan kasar seperti ibu?

Aku tak mau. Aku menyesal telah berjanji. Ingin rasanya aku berlari ke rumah Mulyani dan berkata tidak mau menikahinya. Atau menikahi siapapun. Aku bahkan tak mau jadi orang dewasa kalau ujung-ujungnya seperti ayah atau ibuku.

Aku tak mau.

“Ceraikan aku sekarang juga!”

“Kamu ibunya Dani! Kamu punya kewajiban!”

“Kewajiban? Mana si pembawa sial itu?”

“Buat apa mencarinya?”

Aku semakin takut saat namaku disebut-sebut. Cepat-cepat kututup mulut agar suaraku tak ketahuan. Aku tak berani keluar kolong. Menangispun takut karena ibu bisa dengar. Aku terkencing di celana, begitu ibu jongkok dan menemukanku di bawah kolong.

“Kamu di sini, hah? Keluar kau! Aku menyesal melahirkanmu!”

Aku merangkak ke belakang saat ibu menengok kolong. Sebisa mungkin kuhindari jangkauannya, menggeleng cepat saat ibu memegang sapu dan mengayunkannya ke arahku. Aku tak mau dia tangkap. Aku takut dia seret dan dipukuli seperti biasa.

Ibu lebih kasar dari ayah.

Jauh lebih kasar.

“Kalau tak ada kamu, aku sudah pergi dari si pemalas itu. Kesini kau!”

“Gak mau, Bu ....”

Wajah ibuku selalu menyeramkan di mataku. Dan sekarang lebih seram lagi karena rambutnya berwarna kuning. Persis seperti penjahat di Power Ranger. Apalagi dengan sapu di tangannya. Ibu mengayun-ayunkan sapu itu sampai ujungnya mengenaiku.

Duk!

“Sakit, Bu ....”

“Aku yang lebih sakit gara-gara kamu! Ayo keluar!”

Aku tak mau keluar. Ibu justru mengambil gelas dan melemparkannya keras-keras. Gelas itu pun pecah berkeping di dahiku. Rasanya perih. Sampai-sampai kurasakan air hangat sedang mengalir. Padahal di dalam tidak hujan. Kepalaku jadi basah. Ayah yang masuk kamar, menyeret ibu dan memukulnya.

“Ibu macam apa kau? Kamu tak lihat dia berdarah?”

“Kamu yang bikin aku kayak gini, Kus! Gara-gara kamu! Aku menyesal menikahi pria tak berguna!”

Plak!

Prangg!

Blaaarrr!

Suara mereka mulai buram seperti petir di luar rumah. Mataku pun ikut memburam saat darahnya kian mengalir. Rasanya perih. Sama perihnya seperti hatiku saat ini, yang selalu bertanya salah apa aku padanya.

Pertanyaan itu tak pernah hilang seumur hidup.

Hingga setelah kubuka mata, tatapanku jadi berbeda.

Semuanya tak sama lagi. Tanganku bukan lagi tangan anak delapan tahun. Melainkan tangan dewasa dari pria awal-awal 30-an. Apalagi ruangan itu. Aku tak lagi di ruang sempit kolong kasur. Melainkan di kamarku sendiri, di samping wanita yang memelukku sedari tadi. Megan selalu memelukku saat aku bermimpi buruk.

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang