Kerang Keriput

814 131 5
                                    

Aku bisa makan setelah paman memberiku uang jajan. Akan tetapi, aku tak berani pulang. Kupilih duduk di tepi lapangan sambil meraba bekas luka di punggungku. Rasanya perih. Perutku masih ngilu setelah ayah menendangku. Tapi di lapangan itu aku aman dari dia.

Meski sayangnya, bukan hanya orang tuaku, anak-anak desa juga sering memukulku tanpa alasan.

"Eh, ada anaknya lonte sedang nangis!"

Aku terhenyak.

Aku gelagapan saat mereka mulai tertawa.

"Lonte lonte! Ibunya Dani lonte!"

"Lonte lonte! Dani anaknya lonte!"

Anak-anak itu mulai bernyanyi sambil meledek. Ada yang julurkan lidah, ada yang menepuk pantatnya sendiri. Ada pula yang menggaruk depan celananya seperti Pak Sapri saat tidur siang. Aku tak pernah salah pada mereka. Tapi anak-anak itu tak pernah mau main denganku. Semenjak ibu jadi tukang antar turis, mereka sering mengejekku dengan kata-kata yang diucapkan orang dewasa.

"Ibunya Dani lonte! Tukang kelon sama Londo!"

"Londo manuke gedhe!"

"Pegangi dia! Anaknya lonte wajib dihajar!"

"Iya, ibuku bilang kita masuk neraka kalau main sama dia."

Aku tak berani melawan karena mereka kakak kelas. Aku cuma anak kelas dua SD yang badannya paling kecil. Tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa semoga seseorang mau menolong. Tapi Paman Sukardi sedang di rumah. Dan Pak Totok pasti di mushalla.

"Hajar terus! Hahaha!"

"Habis itu kita kencingi!"

Aku dihajar habis-habisan. Tapi aku tak mau pulang walau mereka semakin kasar. Allah pasti menolongku. Hingga akhirnya, saat kepalaku mulai berdarah, seseorang datang dengan membawa seonggok dahan.

Buk!

"Arrgghh! Ligamenku!"

Salah satu anak itu berguling-guling seperti anjing. Dia pengangi pahanya yang sudah lebam kena pentungan.

"Kalian beraninya cuma keroyokan, hah! Ayo keroyok aku kalau berani!"

Anak-anak itu badannya besar-besar. Jumlah mereka juga banyak. Tapi mereka ketakutan saat melihat sosok gadis bergigi ompong.

"Huwaaa! Ada Mul!"

Kontan saja, anak-anak itu berlari seperti melihat kuntilanak. Termasuk anak kelas enam yang kakinya kena pentung. Aneh sekali. Aku jadi bingung kenapa mereka tak berani melawan cewek.

"Awas nanti di sekolah! Kuhajar kalian satu-satu!"

Setelah anak-anak itu pergi, gadis itu balik badan menatapku. Wajahnya dekil. Giginya ompong dan rambutnya acak-acakan. Entah berapa hari tidak mandi. Aku bisa cium baunya saat dia mulai mendekat.

Aku ketakutan.

Dia raih telingaku dan menjewernya keras-keras.

"Cowok gak boleh cengeng! Berhenti nangis atau kurobek telingamu!"

***

Gadis itu bernama Mulyani. Percaya tidak percaya, dia anak paling nakal di lingkunganku. Padahal perempuan. Tapi sejak Mulyani menolongku, anak-anak itu tak berani mengganggu lagi. Mereka takut. Gadis itu akan menghajar siapapun yang mengganggu anak buahnya.

Iya, aku anak buah Mulyani sejak saat itu. Dan anak buah wajib menurut. Karena jika tidak, gadis itu tidak ragu memukulku.

Galak sekali.

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang