Pemandu itu tertawa renyah. Dia menatapku lagi dengan menyangga sebelah pipi. Sedang tangan satunya di gelas martini. Tatapannya semakin sayu saat jarinya menggesek pelan tepian gelas.
“Apa tujuan anda ke Grajagan? Saya tak yakin demi berbisnis.”
Dahiku kontan berkerut.
Dia tanyakan lagi?
Aku pikir, wanita itu hendak memancingku untuk lakukan kegiatan lebih. Bercinta misalnya. Ternyata bukan. Aku makin merasa dia memang menginterogasiku. Mungkin curiga untuk apalah isi benaknya.
“Tak berani menjawab? Sepertinya 100 dollar ini saya kantongi.”
Kutahan tangannya saat hendak meraih uang.
“Saya lahir di Grajagan,” jawabku blak-blakan.
Raut wajahnya berubah total. Wanita itu terbata-bata entah karena alasan apa. Sesekali pemandu itu menelan ludah. Bibir mungilnya agak ternganga seakan sedang tidak percaya.
“Ada masalah?”
Dia menggeleng cepat.
“Tidak ada apa-apa," katanya?
“Uang ini milik saya.” Kuraih 100 dollar dari meja. Kemenangan pertamaku karena dia sedang berbohong.
“Jangan senang dulu, Tuan Wilson. Permainan kita baru dimulai. Saya pertaruhkan nama saya sebagai mantan bandar judi, haha!”
Wanita itu minum lagi. Dia letakkan lagi 100 dollar di atas meja dengan gaya makin menantang.
“Giliran anda, Tuan Wilson. Silahkan tanyakan apapun.”
Aku mengubah posisi. Duduk berhadapan sambil ikut bersangga tangan. Kutatap kedua matanya dengan raut sesantai mungkin.
“Ingin bercinta denganku?”
Pupilnya kontan melebar. Aku bisa membaca api gairah di pupil itu. Mataku tak bisa ditipu. Aku yakin, pertanyaan itu terlalu mahal untuk ditukar 100 dollar. Hanya wanita tertentu yang berani mengakuinya.
Hasilnya?
Dia tidak mau kehilangan uang.
“Iya. Anda sangat menawan, Tuan Wilson. Saya bergairah. Tapi saya ragu melakukannya.”
“Ada satu cara mencari tahu.” Kulirik pintu kamar.
Gerakan halus bisa kulihat di lehernya. Dia meragu antara iya atau tidak. Konsep suka sama suka masih berlaku di Pulau Bali. Apalagi di Villa ini. Tak ada larangan kalau dia mengiyakan.
“Tuan Wilson, saya penasaran, sejauh apa kelembutan anda sampai kita bisa ke sana.” Dia ikut melirik kamar.
Oh, cerdas juga perempuan itu. Masih sanggup jaga harga saat hasratnya diubun-ubun. Tidak munafik, tidak pula murahan. Gayanya justru elegan saat digoda. Dan aku menyukainya.
“Sekarang giliran saya, Tuan Wilson. Siap-siap kehilangan uang.”
“Siapa takut?”
Wanita itu beranjak. Dia ambil bourbon, gelas lain dan lilin-lilin untuk ditata di meja kami. Dia tuang minuman itu ke gelasnya dan gelasku. Matanya semakin tajam setelah duduk berhadapan. Nampaknya, pertanyaan inilah yang mengganggunya sedari tadi.
“Tuan Wilson, jawab jujur pertanyaan saya. Anda mencari seseorang di Grajagan?”
***
Matahari pagi menyinari jendela Villa. Dinginnya AC seperti surga bagi badanku yang kepanasan. Tapi saat terjaga, aku berada di sofa kamar. Bukan di ranjang empuk karena di sana ada wanita sedang terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...