Di sofa ruang tamu, Winda tersenyum manis. Dia kenakan daster panjang seperti layaknya ibu-ibu di Grajagan. Wanita itu duduk elegan dengan kaki agak tersilang.
“Well well well, you speak bahasa to me, huh? There's something I don't know?” Aku langsung protes.
Senyum Winda semakin manis. Berkali-kali dia ubah posisi duduk seperti orang punya wasir. Wajahnya tampak gelisah. Dia pasti malu karena telah mempermainkanku.
“Kamu berkata single, Winda.”
“Iya, aku single parent.”
Mataku terpicing. Winda tersenyum canggung. Apalagi saat Denise melihat kami bergantian.
“Woaaa! Mommy sudah kenal Om Wilson?”
“Iya. Mommy kenal dari kamu belum lahir. Memangnya kenapa?”
Denise terkekeh. Dia pindah duduk di sebelahku, bersikap manja seperti tadi.
“Mommy pacarnya Om Wilson? Nikah dong. Aku kan mau punya Daddy?”
“Om Wilson sudah punya pacar. Dan pacarnya cantik. Jangan berharap.” Winda menjelaskan penuh senyum. Senyum sarkastik.
Suasana jadi canggung. Aku masih tak percaya wanita itu Mulyani dewasa. Sesekali kulirik fotonya dari sakuku, membandingkannya lagi, dan ternyata memang mirip.
“Masih ingat rumah ini?” Winda menegur.
Bagimana aku lupa?
Semua ingatan datang membanjir. Perasaanku melankolis. Mataku memindai lagi ruang tamu masa kecilku, terutama berbagai ornamen dan foto-foto di temboknya. Sebagian masih baru. Sebagian terlihat tua. Sebagian lagi mengusik ingatan karena pernah melihatnya.
Salah satunya celengan ayam di atas lemari.
“Winda, kamu Mulyani?”
“Aku bukan Mulyani? Bukannya sudah tahu?”
Dia tunjukkan lagi KTP-nya lagi. Tentunya dengan menutupi tahun lahir. Namanya Prawinda Adiputeri. Tak ada Mulyani-nya sama sekali.
“Kenapa kamu adalah disini? Dimanakah Mulyani?”
“Entahlah. Dan jangan pakai adalah.”
Kuraup wajahku sendiri. Winda buang muka setelah menjawabnya. Sedangkan Denise kebingungan dengan topik yang kami bahas.
“Mulyani itu siapa, Mom?” Gadis itu malah bertanya ke ibunya.
“Kamu dengar? Tak ada nama Mulyani di rumah ini. Mungkin dia penghuni lama.” Winda memanfaatkan pertanyaan Denise sebagai alasan.
Kuraih foto tua dari sakuku dan menaruhnya di atas meja. Kuraih pula kepala Denise dan mencubit kedua pipinya. Menunjukan kepada Winda alasannya tak masuk akal.
“Lihat.”
Winda menghela panjang. Wajah Denise terlalu mirip Mulyani kecil. Sifat mereka pun seperti bayangan di atas air. Sangat mustahil dia bisa membantahnnya.
“Winda, kamu tahu aku?”
“Iya, aku sudah mengenalmu sejak kita pertama bertemu.”
“Kenapa bohong?”
“Sorry. I have my own reason. Don't talk about it, please. Jangan bicara lagi tentang Mulyani.”
Aku menghela panjang karena semua makin tak jelas. Kepalaku pusing. Tanpa sadar, tanganku meraba saku, mencari teman sejati yang tak pernah kuminum lagi.
“Danny, stop it.” Winda memintaku menaruh lagi penenang itu.
“Talk!"
Winda makin gelisah. Wajahnya seperti sedang menimbang-nimbang. Persis ekspresinya saat kami masih di Villa.
“Okay, Tuan Wilson, aku akan jujur. Tapi tidak sekarang. Kamu akan tahu kebenarannya setelah ini. Beri aku waktu. Seminggu, okay? Seminggu. Beri aku waktu seminggu.” Dia sampai bicara berulang-ulang. Dan berulang-ulang pula kubuka situs penerjemah.
***
Siang yang cerah di warung pecel dekat sekolah. Cuaca panas. Tapi tak sepanas pikiranku. Tinggal satu hari sampai Winda mau bicara akan kebenaran di antara kami. Gara-gara sikapnya, aku sering telat makan.
“Tumben pakai tangan? Biasanya pakai sendok,” tegur Bapak-bapak yang biasa menggodaku. Pak Hadi namanya.
“Saya mau menjadi orang Indonesia. Hahahaha!”
“Orang Indonesia suka petai, Mas Wilson. Kalau tak suka petai, bukan orang Indonesia.”
Aku menelan ludah.
Bau petai sangat mengerikan.
“Saya tidak mahu petai.”
Sejak mulai lancar berbahasa, orang-orang makin akrab. Di warung itupun aku sering bermain catur, kadang main domino. Kadang pula main karambol dengan bapak-bapak pengunjung warung. Taruhannya lucu. Siapapun yang kalah harus dijepit penjepit pakaian dari plastik.
Seperti hari ini.
Seluruh mukaku kena penjepit setelah kalah berkali-kali.
“Sh*t! I'm done!” Aku kesal sendiri.
“Lawanmu mantan preman, hahaha!”
Pak Hadi dulunya preman. Katanya, di Grajagan dulu banyak tempat perjudian. Sekarang tak ada lagi. Karena itulah dia kumpul di warung-warung demi judi kecil-kecilan. Taruhannya rokok sembatang. Kadang traktir kopi. Kadang pula taruhan konyol seperti yang sedang aku alami.
“Anakmu datang tuh,” tegur Pak Hadi sambil melihat gerbang sekolah.
“Anaknya?” tanya orang sebelah. “Mas Hadi, memangnya Mas Wilson punya anak di sini?”
“Iya, itu tuh, Denisa. Cucunya Mas Ali Pritil. Anaknya Prawinda. Kemana-mana bareng Mas Wilson.”
Aku mulai tak nyaman saat jadi bahan gunjingan. Ternyata Bapak-bapak juga suka bergosip. Serius, mereka bergosip di sebelah orang yang mereka gunjing.
Hardcore sekali.
“Oooh, anaknya Prah? Bukannya Prah sudah tua? Mas Wilson loh muda sekali. Ganteng. Putih.”
“Ya gak tahu. Mungkin seleranya orang Amerika beda. Suka sama yang matang-matang, hahaha!”
Aku nyengir sendiri. Sesegera mungkin berpamitan demi menjemput si gadis tomboy. Mungkin gaya kami memang mirip ayah dan anak. Terserahlah, aku tak mau pusing.
“Daddy!” tegur Denise sebelum tertawa terbahak-bahak.
“Ayo pulang. Ibumu menungguh.”
Denise masih terbahak entah karena masalah apa. Dan tawa itu diikuti tawa lebar anak-anak di sekitarnya. Mereka terbahak sambil melihatku.
Oh iya, aku lupa kalau wajahku dipenuhi penjepit.
“Ayo pulang.”
“Sebentar, aku ajak Bu Lik Ayu.”
Aku hanya tersenyum saat Denise menemui sosok guru berbadan mungil. Serius, badannya super imut. Tingginya kira-kira 60 inchi. Atau sekitar 150 cm ukuran metrik. Kulitnya putih bersih. Persis kulit Catherine. Usia mereka pun sepantaran. Kami tak pernah komunikasi karena dia juga pendiam.
“Dari kemarin aku suruh kenalan kok, Bu Lik ini gimana sih? Sudah besar kok malu-malu?”
Guru itu tersenyum canggung kepadaku. Berkali-kali menundukkan muka tanpa mau banyak bicara. Rambutnya panjang. Bibirnya manis. Setelah kuamati, guru itu cantik juga.
“Jean Wilson.” Kuulurkan tangan lebih dulu. Dia pun menyambut tanganku, senyum-senyum dengan mata kemana-mana.
“My name is Ayudisa Puteri. Nice to meet You, Mr. Wilson.”
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...