Beda Budaya

612 108 2
                                    

Di kartu itu tercantum beberapa tulisan dalam bahasa yang kami tak tahu apa artinya. Pasti Bahasa Indonesia. Hurufnya pun menggunakan format lama yang diketik menggunakan alat ketik kuno. Bukan huruf komputer. Hanya beberapa yang aku kenali dari kartu itu. Seperti nama, tanggal lahir, juga foto ibuku sewaktu muda.

Namanya Siti Sukmarini.

"Shitty Suck My Renee? Namanya cocok sekali dengan perilakunya, hahaha!" Megan tertawa geli karena nama itu agak porno di telinga kami. "Ini nama asli Renee?"

Dua bahuku terangkat karena aku juga baru tahu nama asli ibuku. Jauh berbeda dari nama yang kami kenal. Nama yang dia pakai setelah resmi menikahi Michael.

"Hmmm, bentuknya kuno sekali?" Megan makin antusias mengamatinya.

Bentuknya memang sangat asing. Di samping foto pun ada dua kotak besar yang berisi sidik jari dan tanda tangan. Sekaligus keterangan yang membuat Megan mengetik laman penerjemah.

"Di kartu ini ada keterangan agama. Kamu tahu artinya?"

Sekali lagi aku mengangkat dua bahu.

Enggan menjawab apalagi menebak-nembak.

"Karena budaya kita berbeda, Danny. Di Indonesia, agama bukan ranah pribadi. Tapi komoditas publik yang harus ditunjukkan ke banyak orang. Kamu harus hormati aturan itu."

Dia pindahkan ID ibuku ke saku koper yang akan kubawa ke Indonesia. Setelah itu menatapku dengan sebuah tatapan tegas.

"Dan aku dengar, privasi lain semacam status pernikahan juga konsumsi umum di sana. Kamu tak boleh tersinggung jika ada yang bertanya apa kamu sudah menikah. Karena disana, pertanyaan itu sangat wajar."

Wanita itu mendekatiku, mencium bibirku, dan menepuk-nepuk pipiku dengan gaya makin dominan.

"Dan di sana tak ada konsep suka sama suka. Hak pribadi seperti yang kita miliki juga diatur oleh negara. Jangan sembarangan main perempuan. Mengerti?"

"Oh, kamu cemburu?"

"Aku tak kau bayar untuk itu." Dia senyum-senyum buang muka, pura-pura sibuk dengan koper tua setelah memanfaatkan budaya Indonesia untuk mengancam.

"Aku tak akan main perempuan."

"Harus."

Selain Kartu Tanda Penduduk dan surat aneh, ada berbagai benda di koper tua. Semuanya terasa asing. Aku sulit mengingatnya. Di koper itu juga cincin yang nampaknya dari kuningan yang terlihat kasar. Sepertinya buatan tangan. Ukurannya pun terlampau kecil untuk dipakai orang dewasa.

"Aku masukan cincin ini juga?"

Aku mengangguk. Megan menjelajahi isi koper tua, sampai menemukan kertas lain yang menarik perhatiannya.

"Ini fotomu waktu masih kecil, bukan? Anak di sebelahmu ini siapa? Sepertinya dia perempuan."

***

"Hahahaha! Menyerahlah, Meggy. Cinta itu natural. Seprofesional apapun dirimu, kamu tak mungkin menghindarinya."

"Cinta tak tercantum di dokumen pernikahan, Sweetie. Hal pertama yang kupikirkan saat menikah adalah pajak dan pembagian saham. Bukan cinta."

"Yeah, pertahankan itu, Nona Feminist."

Gotham Lounge, Hotel Peninsula, di restoran itu kami sedang kencan bertiga. Aku duduk santai di meja bundar bersama dua wanita cantik. Sampai sekarang keduanya masih berdebat. Sedangkan aku, lebih baik kunikmati irama jazz, hidangan ringan, juga teh hangat yang secangkirnya 50 dollar.

"Kamu lihat? Danny sampai sekarang senyum-senyum melihat gadis di foto itu. Wuuuuu, calon suamimu mau selingkuh, hahahaha!"

"Ayolah, Sweetie, bisakah kau berhenti kekanakan?"

Megan berusaha bersikap dewasa karena Catherine masih juga menggodanya. Dengan wajah kalemnya, dia menolehku dan memberi pertanyaan singkat.

"Sudah punya rencana di Indonesia? Sudah tahu siapa saja yang akan kamu temui? Ayah kandungmu misalnya."

"Iya Danny, apa ayah kandungmu masih ada? Apa kakek nenek kita dari ibu juga ada di sana?" Catherine ikut-ikutan.

"Aku tak ingat ayah kandungku, apalagi keluarga ibu," balasku seadanya karena aku memang tak ingat. Kutunjukan foto tua dan bicara di depan mereka. "Tapi gadis ini mungkin bisa memanduku."

Dahi Megan kontan terkernyit.

"Kamu mau cari dia?" katanya.

Aku mengangguk. Dan anggukan itu kontan memicu tawa adikku.

"Meggy, dia mau menemui wanita lain. Uuuuuhh, tahu-tahu Danny pulang-pulang bawa bayi, hahahaha!"

Bola mata Megan berputar ke atas. Dia memberi kesan sudah terbiasa dengan sikap kekanakannya.

"Ini demi kesehatan mentalnya, Sweetie. Aku psikiaternya. Aku bicara sebagai profesional. Kalau gadis kecil di foto itu bisa menjawab permasalahan Danny, kenapa tidak?"

Saudariku memainkan kedua alisnya. Dia masih betah menggoda Megan yang bersusah payah mempertahankan gaya feminist.

"Saat kamu kesepian di sini, Danny berpelukan dengan wanita lain. Ugghhh, menyerahlah Meggy. Bilang saja kau cinta dia. Apa susahnya sih? Toh, aku dan ayah merestuimu jadi bagian keluarga kami."

"Ayolah, Sweetie. Gadis itu hanya teman masa kecil."

Megan masih bertahan. Masih gigih mempertahankan label "Wanita Modern". Sekalipun wajahnya kecut saat dia menolehku.

"Danny, gadis kecil yang membuatmu senyum-senyum sendiri itu seumuranmu, bukan?"

"Setahun lebih tua."

"Ow, begitu ya?" Dia semakin ketus.

Aku paham. Se-New York apapun seorang Megan, dia tetaplah perempuan. Dia pasti merasa cemburu kalau aku hendak menemui wanita lain. Karena faktanya, aku juga agak tak nyaman jika dia menemui pria lain di luar sana. Sekalipun kepentingan bisnis. Aku harus hati-hati menjawabnya.

"Aku juga tak tahu kenapa senyum-senyum. Mungkin karena masa kecilku terlalu indah."

Ekspresi Megan mengendur. Mungkin sadar bahwa sikapnya telah kubaca. Bahkan bisa dibaca oleh Catherine. Gadis itu makin jemawa karena dia merasa menang.

"Meggy, kalau dia lebih tua dari Danny, apa dia sudah menikah?"

"Kalau dia lebih tua dari saudaramu, umurnya mungkin 33 atau 34. Perempuan seumuran itu pasti menikah di Indonesia, Sweety. Mungkin sudah punya cucu. Perempuan di sana bisa digunjing kalau sampai tidak menikah."

"Apa? Benarkah? Mengerikan sekali? Aku tak mau di negara itu." Catherine merespon dengan lugunya.

Jujur, aku juga sependapat dengan Megan walau nadanya tendensius. Aku memang tak tahu banyak tentang Indonesia. Tapi aku paham budaya mereka, atau budaya umum di negara dunia ketiga. Nikah dan cerai sangat mudah di negara itu. Orang-orangnya gemar kawin. Mereka beranak pinak, setelah itu hidup sengsara karena anaknya terlalu banyak.

Di Amerika pun budaya itu masih ada. Kebanyakan di wilayah Southern. Orang kulit hitam pun masih membawa budaya itu. Bisa jadi teman masa kecilku saat ini berumah tangga. Bisa-bisa sudah punya cucu.

"Meggy, apa di Indonesia ada internet? Apa orang-orangnya hidup di hutan? Di rumah pohon?"

"Hei! Bahkan ketika aku masih kecil, di sana sudah ada listrik." Aku menjawab sebelum Catherine semakin absurd. "Dan kami tinggal di rumah normal. Tak jauh beda dari rumah kita."

Saudariku mengangguk lugu. Gadis itu terlalu cantik sampai otaknya tidak jalan. Padahal Master Degree di Columbia University. Tapi dia selalu nyaman jadi anak kecil saat di dekatku atau Megan. Catherine ucapkan lagi pernyataan anehnya dengan wajah tidak bersalah.

"Aku pikir orang-orangnya masih memakai pakaian daun."

"Jesus Christ! Apa ibu kita memakai daun?"

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang