Gara-gara uang, kuputuskan meninggalkan Pulau Dewata untuk tujuan yang sebenarnya. Desa Grajagan. Desa dimana semua masalahku telah bermula dan harus berakhir secepat mungkin. Uangku pas-pasan. Aku tak mau buang waktu hanya karena rasa gamang.
"Barang-barang anda sudah disiapkan?"
"Iya. Berapa lama perjalanan kita?"
"Kira-kira enam jam," balasnya cepat. "Tak ada yang ketinggalan, bukan?"
Aku menggangguk lagi.
"Pembayaran sudah beres? Kartu kredit saya berlaku?"
"Iya, Tuan. Tenang saja. Seluruh pembayaran sudah beres."
Aku tersenyum datar demi bisa sembunyikan cemas. Isi dompetku mengerikan. Aku cemas karena miskin. Apalagi saat pemandu mengantarku menuju mobil yang kami sewa termasuk sopirnya. Layanan travel VIP, lebih mahal dari taksi. Tarifnya hampir separuh saldo rekeningku saat ini. Untung saja sudah bayar dari bandara.
"Tuan Wilson, ayo berangkat."
Banyak yang kami bicarakan di sepanjang perjalanan. Hanya topik ringan. Wanita itu selalu menjawab pertanyaanku akan obyek di sepanjang jalan. Profesional sekali. Termasuk tentang mobil yang kami naiki.
Yeah, kursi mobil Alphard cukup empuk.
"Anda tahu? Mobil ini kategori mewah di Indonesia?"
"Begitukah?"
"Iya. Harganya satu milyar sekian dalam rupiah. Tak semua orang bisa membelinya."
Kulirik jalanan sekitar. Lalu lintas Bali hampir sepadat New York. Bedanya, di tempat ini sangat jarang terlihat taksi. Kebanyakan pemotor.
"Tuan Wilson.Anda punya mobil?"
"Tidak."
"Serius?"
Aku mengangguk. Faktanya, aku tak punya mobil di Kota New York. Bukan karena tak sanggup. Tak penting juga memilikinya.
"Saya lebih suka jalan kaki atau naik angkutan umum. Baru-baru ini saja membelikan mobil untuk Megan. Dan itu sangat merepotkan. Biaya parkir saja 20 dollar perjamnya."
Saat kulirik, pemandu itu memberi tatap tak percaya.
"Serius? Perjamnya 20 dollar? Itu mahal sekali, Tuan Wilson!"
"Semahal itukah?"
"Iya. 20 Dollar itu setara 280 ribu rupiah. Gaji rata-rata pekerja di sini hanya 3,5 juta perbulannya. Astaga! Parkir 24 jam di Kota New York setara gaji kami dua bulan!" Pemandu itu sampai asma gara-gara tarif parkir.
Aku mengangguk dengan senyum dibuat-buat. Gara-gara uangku disunat, aku baru sadar semahal itu Kota New York. Apalagi setelah uangku tinggal separuh karena taruhan.
Bagimana aku makan setelah ini?
"Tuan Wilson, mobil kita akan berhenti di restoran."
"Satu paket kan?"
"Iya, Tuan. Tak perlu bayar lagi."
Wajahku nampak biasa di luaran. Tapi di dalam hati, aku sedang salto. Semoga saja makanan di Indonesia tak mahal-mahal. Uangku hanya 350 Dollar untuk sebulan.
"Hmmmm, berapa dirupiahkan?"
"4,9 juta rupiah, Tuan Wilson."
"Apa itu cukup untuk makan?"
"Lumayan. Tenang saja. Ayo makan."
Setelah menepi di restoran, kubukakan pintu untuk pemandu. Kuraih pula jemarinya seperti Romeo. Perlakuan itu sangat lazim dan naluriah kulakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...