“Dua ratus enam puluh ribu empat ratus rupiah, Nduk. Wah, uangmu banyak. Lebih banyak dari uangnya Bapak.” Pak Ali Pritil bicara gembira sambil menulis sesuatu di atas buku. “Mau nabung lagi?”
Mulyani mengangguk cepat. Dia juga memintaku memasukan uang recehan ke celengan ayam.
“Dua ratus perak lagi, Pak. Buat beli kue kue kalau nanti kami nikah.”
Pak Ali menahan tawa. Pria itu selalu tertawa setiap kami membahas nikah.
“Sekarang kalian tidur. Besok sekolah," ujarnya, mencium kening kami bergantian.
Suara diesel perlahan meredup. Berganti suara jangkrik di kanan kiri rumah kami. Lampu desapun mulai padam dan berganti nyala petromak. Menandakan malam ini kami harus segera tidur.
Namun, mataku sulit terpejam. Aku tak bisa tidur gara-gara sebuah mantera. Lebih tepatnya reaksi Mulyani setelah aku mengucapkannya.
Aneh sekali.
Dua hari ini gadis itu senyum-senyum tidak jelas.
“Psstt! Dani, kamu sudah tidur?”
“Belum,” jawabku agak keras. Karena kalau tidak menjawab, Mulyani pasti turun ke bawah dan menjadikanku bantal guling. Memelukku sampai pagi. Aku tak mau dia ngompol di mukaku.
Oh iya, kasur kami kasur tingkat. Pak Ali membelikannya sejak aku di rumah itu. Aku tidur di bawah dan Mulyani di kasur atas. Kami tidur berpisah meski berada di satu kamar.
Akan tetapi, itu hanya hanya terjadi jika aku masih bangun. Karena kalau tidur, Mulyani suka mengendap-endap turun ke bawah. Pak Ali sampai capek berkata kalau belum nikah tidak boleh tidur bersama.
Iya, aku setuju dengan Pak Ali. Aku tak mau tidur dengan Mulyani karena dia sangat berisik. Dengkurannya keras. Tidurnyapun tak bisa diam. Sering kali pantatnya di mukaku, atau aku jatuh dari ranjang karena kakinya suka menendang. Apalagi kebiasaan ngompolnya. Aku capek menjemur kasur.
“Dani?”
“...”
“Dwwaaaaniiii?”
Seperti yang kuduga, dia turun dari ranjangnya karena aku tidak menjawab.
“Dani, aku gak bisa tidur. Jangan tidur dulu dong.”
“Iya iya, aku masih bangun. Kenapa sih?”
Mulyani merebah di sebelahku. Dia susun bantalnya sendiri yang dia bawa dari atas. Memelukku seperti biasa. Setelah itu menatap mataku dengan bibir senyum-senyum.
“Biar kita cepat besar, caranya gimana ya?”
“Ya mana aku tahu? Memangnya kenapa sih?”
Mulyani tidak menjawab. Masih senyum-senyum seperti tadi. Masih pula menatap mataku dengan apalah isi benaknya. Tanpa kuduga, dia cium pipi kananku dan ucapkan mantera yang sama.
“Dani, aku juga sayang kamu.”
Entah kenapa, dadaku dag dig dug setelah dia mengucapkannya.
***
Akhirnya, cawu tiga telah berakhir. Mulyani busungkan dada karena dia naik kelas. Gadis itu mengipaskan rapot ke wajahnya, terlalu gembira karena kami tetap bersama.
“Huahahaha! Aku pasti jadi kepala desa. Nanti kita sebangku lagi, hahaha!”
Bibirku tersenyum kecil. Kerja kerasku telah berhasil. Tak percuma mengajari Mulyani walau dia sangat bodoh.
“Bapak pasti senang lihat raport ini, hahahaha! Rangking 19!”
“Rangking itu buat apa sih? Memangnya kamu tahu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...