Entah kapan terakhir kalinya aku bangun sesegar ini. Badanku terasa ringan. Padahal posisi tidurku tidak enak sama sekali. Di kamar itu banyak nyamuk. Semalaman pun badanku gerah karena tak ada kipas angin. Apalagi kasurnya. Terlalu pendek. Andai ujungnya tak diganjal bantal, betisku pasti pegal.
Akan tetapi, perasaanku sentimentil. Rasanya seperti kembali ke masa silam saat melihat benda-benda di kamar itu. Termasuk meja kayu di tepi ranjang. Di meja itu juga ada lampu minyak yang saat ini jadi ornamen. Semuanya masih sama. Hanya lantainya yang saat ini sudah berubah jadi keramik.
“Selamat pagi.” Winda menyapaku dalam Bahasa Indonesia. Pagi buta sudah masak. Dia lirik bingkisan plastik yang nampaknya berisi handuk. “Aku mencurinya dari Villa, hahaha! Sana mandi dulu.”
Kamar mandinya sudah pakai pompa elektrik. Tapi sumur katrolnya masih ada, dan sumur itu melemparku ke masa kecil. Aku jadi ingat masa-masa saat aku menyiapkan air agar Mulyani mau mandi. Dia dulu sering minta disabuni, minta disiapkan pasta gigi, sering pula memintaku membantunya memakai baju.
Ya ampun, rumah ini dipenuhi nostalgia.
Dengan hanya berbalut handuk, aku keluar kamar mandi. Kulewati lorong sempit menuju dapur dimana Winda sedang masak. Wanita itu hanya melirikku. Reaksinya biasa saja walau aku telanjang dada.
“Untuk sementara pakai motorku dulu. Nanti tukang kuncinya ke sini.”
“Okay.”
Aku kembali ke kamar dengan kaos yang Winda beri. Masih baru, semacam kaos oblong bergambarkan Bapak-bapak. Ada tulisan ‘Coblos Nomor Dua’ di depannya. Mungkin artis lokal atau entahlah. Lebih baik daripada telanjang dada. Sedangkan untuk bawahan, Winda sodorkan selembar sarung.
“Nih, sekalian pakai peci,” ujarnya cekikikan. Dia sodorkan kunci motornya sambil melirik ke ruang tamu. “Setelah ini antar Ayu ke sekolah. Dia sudah tahu kamu siapa.”
***
Pagi itu kami awali dengan sarapan. Tapi aku agak gelisah, karena guru mungil yang masih juga menjaga jarak. Mulyani makan seperti orang ditagih hutang. Sejak tangannya mengambil piring, guru itu masih menunduk.
“Umurmu sudah 33.” Winda menegurnya.
Guru itu tidak membalas.
Dia mencubit Winda sambil tersenyum ke arah lain.
“Ck! Arjunanya datang kok malah diam.”
Dilihat darimanapun, perempuan bernama Ayu itu seumuran Catherine. Aku tak curiga karena dia terlalu muda. Wajahnya halus terawat. Begitu pula rambutnya. Cara duduknya pun sangat sopan, jauh berbeda dari Winda yang selengekan.
Terang saja, khayalanku rontok. Sifat tomboy-nya hilang total. Padahal, gadis itu di masa lalu paling suka pelototi orang.
Apa dia orang yang sama?
“Bag—bagaimana kabarmu?” Mulyani akhirnya bicara setelah Winda memaksanya.
“Saya baik-baik. Kamu?”
Wanita itu tak langsung menjawab. Dia makin gelisah karena aku menatap wajah. Mulyani semakin malu kepadaku. Dia bingung sendiri saat Winda mencolek-colek.
“Nduk, ngomong apa kek sama Dani.”
“Kam—kamu Kusuma Wardani, kan?” Dia gelagapan.
“Yes, aku Kusuma Wardani.”
“....”
“….”
Winda berkacak pinggang karena Mulyani terdiam lagi. Bahkan setelah makan, si imut itu bergelagat mau kabur. Dia menggeleng panik saat Winda meninggalkannya. Pasti malu berdua saja bersamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...