“Dani, kamu jangan pergi ya? Kalau kamu pergi, aku nanti main sama siapa?”
Malam harinya, Mulyani tidur di sebelahku. Dia tak mau ke ranjangnya sendiri walau Pak Ali memarahinya. Apalagi mengendap-endap menungguku tidur. Sedangkan aku, aku tak bisa menjawab karena lenganku masih sakit diseret ibu. Untunglah tadi dibela Om Michael.
“Nan—nanti kamu jadi Ranger Merah deh, dan aku yang jadi monster ... kamu jangan pergi ya Dani? Aku nanti nikah sama siapa? Kat—kata Om Hadi, cewek tomboy sepertiku nanti gak laku, huwaaaaa! Ak—aku nanti gak bisa nikah!”
Aku merasa bersalah karena diriku lah Mulyani menangis. Aku baru tahu si galak itu bisa cengeng. Rasanya sedih. Entah kenapa, aku akan masuk neraka kalau tak bisa menghiburnya.
“Aku pasti menikahimu. Aku janji. Kalau aku melanggar, aku berubah jadi monster.”
“Janji nikah sama aku?”
“Iya, aku janji.”
Mulyani berhenti menangis. Dia senyum-senyum padaku, menatapku seperti anak kucing. Gadis itu langsung mendengkur setelah yakin bahwa aku tidak berbohong.
Iya, aku tak bohong dengan janjiku. Aku tak mau menikah kalau bukan dengan Mulyani. Tapi aku tak berani bilang bahwa aku tetaplah pergi. Ibu sungguh-sungguh membawaku. Aku merasa bahwa Pak Ali tak bisa lagi membelaku setelah ibu mengancamnya.
“Ak—aku juga gak mau pisah.”
Tiba-tiba, aku menangis. Padahal tidak ada yang memukulku. Tapi dadaku terasa sakit. Aku tak mau jauh dari Mulyani. Aku tak mau jauh dari Pak Ali dan Mbak Prah yang menyangiku selama ini. Aku bahagia bersama mereka.
Meski sayangnya, ibu datang lagi hanya demi merusak kebahagiaanku.
Dia merusaknya lagi.
Dia tak pernah puas menyakitiku.
Bahkan menyakiti Pak Ali yang selama ini jadi ayahku.
“Bapak!” Mulyani menangis lagi, saat melihat Pak Ali sedang diborgol Pak Polisi.
***
Kenapa Pak Ali ditangkap?
Padahal Pak Ali orang baik. Dia tak pernah marah padaku, juga kepada Mulyani yang saat ini sedang menangis. Tapi Ibu bilang Pak Ali penjahat. Dia sampah masyarakat yang katanya harus dibuang.
Memangnya sampah itu jahat?
Aku saja bisa bayar SPP karena sampah.
“Nak, ikut ibu ya?”
Aku menggeleng pelan sambil mundur ke belakang. Apalagi saat ibu memberi senyum. Penjahat di Power Ranger juga tersenyum kalau mau merusak kota. Ibu bahkan tak peduli pada Mulyani yang sedang menangis karena ulahnya.
“Ayo Nak, habis ini kita pergi ke Amerika. Di sana enak, tidak seperti di sini. PLN saja belum masuk.”
“Aku di sini saja, Bu. Mulyani sendirian.” Aku coba beralasan. Pergi ke samping Mulyani yang sedang jongkok di pojok ruangan. Tapi ibu justru marah. Dia mengambil kayu dan berniat memukulku.
“Rini!” Pak Ali yang sedang ngobrol dengan polisi, spontan membentaknya. Begitupun sikap Om Michael. Dia tak ragu membentak ibuku.
“Stop this bullsh*t!”
“Just leave Danny here, Michael.”
“And I won't marry you. That was the deal.”
Ibuku langsung diam.
Om Michael tersenyum padaku setelah dia menegur ibu. Senyumnya tidak menakutkan. Dia juga jongkok seperti Pak Ali saat bibirnya sedang bicara.
“It's okay, Danny. I promise to be a good dad for you. Saya janjwi jadi ayah bagus.”
Aku mengangguk.
Aku merasa aman dari ibuku setiap ada si rambut merah.
Katanya, Om Michael akan jadi ayahku setelah kami di Amerika. Aku tahu dia baik. Aku merasa bahwa Om Michael bukan pembohong seperti ibuku. Atau ayah kandungku yang orang bilang hanya bermodal wajah tampan.
Iya, Om Michael baik.
Tapi ayahku adalah Pak Ali.
Bukan dia.
“Your child is here, Sweetheart,” hardik ibu pada Om Michael dengan tangan mengelus perut.
Entah apa yang ibu makan. Aku baru sadar perut ibu sedikit gemuk. Dia tersenyum padaku dengan mata masih terpicing.
“Besok kamu ikut aku ke Amerika. Nurut sama aku. Jangan jadi anak durhaka.”
“Aku mau tetap di sini, Bu. Ken—kenapa aku gak boleh tinggal sama Pak Ali?”
“Karena aku gak bisa nikah lagi kalau kamu tak mau ikut! Kamu memang bikin susah!” Teriakan ibu semakin keras. “Bahkan sudah cerai pun kamu masih jadi beban! Kamu memang anaknya si Kus!”
Ibu menoleh kanan kiri. Dia cari benda lain untuk memukulku. Kali ini, Pak Polisi yang memegang nya. Dia tegur ibuku yang hampir saja melempar guci.
“Bu Rini, tolong jaga sikap.”
***
“Dani, kita pacaran, kan?”
“Iya. Kita pacaran.”
"Janji ya? Kita pacaran terus sampai nikah, ya?"
"Iya. Aku janji."
Hari ini, pohon beringin itu sudah tidak menakutkan lagi. Mulyani mengajakku ke tempat itu demi mengulang janji kami. Langitnya berwarna jingga. Cahaya matahari membias hangat di rumbainya, menyinariku dan gadis tomboy di sebelahku. Kami sudah siap untuk berpisah. Kami sepakat mulai pacaran walau aku tidak paham.
Untuk hari ini, aku berusaha tidak menangis karena Pak Ali yang memintanya.
“Kalau kamu pergi, terus Bapak dipenjara, aku di rumah sama siapa? Kakak sama Ibuku jauh, Dani. Kamu di sini saja, ya? Kamu di rumah saja sama aku.”
Pertanyaan itu lebih sulit dari menghitung sampah plastik. Apalagi soal matematika kelas empat. Walau aku juga tak mau meninggalkannya, aku tak berani berjanji. Aku selalu ingat kata-kata Pak Ali, bahwa anak laki-laki tak boleh ingkar. Tak boleh berjanji kalau tak bisa dipenuhi.
“Mulyani, kalau aku tak ikut ibu, Pak Ali gak boleh pulang. Besok Pak Ali pasti pulang, kok. Tadi ayah kita sudah bilang.”
“Tapi besok kamu pergi, hiks! Katanya kamu sayang sama aku?”
Mulyani mulai tak mau melihatku. Masih betah melihat pohon dengan dada terisak-isak.
“Dani, aku gak akan maksa kamu bantu aku jadi kepala desa.” Dia menoleh pelan, memegang kedua pundakku dan menangis lebih keras. “Aku janji gak akan mukul kamu lagi. Jangan pergi ya? Nanti aku belajar matematika sama siapa? Huwaaaaa!”
Aku bingung. Baru kali ini Mulyani menangis sambil mendongak. Biasanya selalu ceria. Dia bahkan tak menangis saat kepalanya berdarah waktu kakak kelas tak sengaja melempar batu. Gadis itu memilih menghajarnya daripada mewek-mewek seperti cewek.
Aku tak tahu harus bagaimana.
Kupilih mengucap janji untuk sekadar menghiburnya.
“Jangan nangis dong. Aku nanti kembali kok kalau sudah besar,” balasku pura-pura tegar. “Aku nanti kembali ke pohon beringin ini. Kamu tunggu ya? Aku pasti pulang.”
“Kamu janji? Kamu nanti ke tempat ini demi aku?”
"Iya. Kamu mau, kan?"
Mulyani masih sesegukan. Dia raba pohon itu dan mewek-mewek menjawabku.
"Iya. Sampai kapanpun, aku akan menunggumu di pohon ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...