"Danny, do I even have a chance?"
Bibirku tersenyum simpul. Syukurlah, selain Mulyani, Megan juga tak mau memberi drama sebagai seorang wanita dewasa. Dua-duanya sangat tahu bahwa aku terlalu sibuk untuk itu. Mereka juga paham bahwa pernikahan tidak semudah khayalan gadis SMP. Ada pajak, asuransi, pembagian saham, property, gono gini, dan segala hal yang dicatat oleh negara. Aku belum punya waktu memikirkannya. Sekalipun sudah punya minat untuk segera pergi ke sana.
“Yes, you have a chance, Meg. Everyone has a chance. Even the whiny girl next to you has a chance.”
“I'm your own sister, Danny. Jeez.” Catherine dengan santainya menirukan gaya Megan.
Telpon kututup setelah jam 11 malam. Pekerjaan telah usai. Aku senang tak harus ke Jakarta karena Respati sendiri mendatangiku ke Grajagan. Pria itu misterius. Aku bingung memikirkannya. Terlalu bingung sampai baru sadar ada Mulyani sedang tiduran di kamarku.
“Kamu sudah gila?”
“Anggap saja begitu. Kan semalam aku juga nginap? Bapak tadi ngomel-ngomel nyuruh aku pulang, hahahaha!”
Aku gelisah saat Mulyani malah menepuk permukaan sprei. Ekspresinya sangat jelas. Wanita itu sedang tinggi. Nampaknya, seminggu ini dia capek menahan diri untuk tidak berbuat jauh.
“Kamu bilang, Megan juga punya kesempatan, bukan?”
“Yes, and I'm not in the mood to talk about it.”
“Don’t worry, act is always better than talk. And I'm a woman of act.”
Suasana mendadak horor saat Mulyani sedang jadi dirinya sendiri. Watak tomboy-nya keluar lagi. Aku gelisah karena dia sedang serius tidur denganku.
“Aku hanya ingin tidur berdua seperti dulu, Dani. Gak sampai gituan seperti kamu sama Megan.”
Dia malah menyindir. Dan sindiran itu terlalu tajam sampai jantungku cenut-cenut.
“Padahal, aku dan dia sama-sama gak punya komitmen denganmu. Kok kamu tidak mau menyentuhku? Mau bilang apa, coba? Mau bilang ini bukan Amerika? Terus, kalau aku ikut kamu kesana, apa kamu masih beralasan?”
Aku ingin bilang bukanlah negara yang jadi alasan. Perbedaan budaya itu bukan hanya masalah hukum. Di negaraku memang bebas selama tak ada yang dirugikan. Tapi aku sudah tak mau sebebas dulu. Apalagi di Indonesia, sebuah negara dimana derajat laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Mulyani bisa dicap murahan kalau kami melakukannya.
“Astaga Dani, aku juga paham soal itu. Aku hanya ingin menikmati malam terakhir kita. Ayolah, aku tak ada niat kesana. Aku sudah kapok gara-gara kemarin.”
“Serius sudah kapok?”
“Iya. Aku hanya ingin ngobrol semalaman.”
Mulyani makin ceria setelah aku mau merebah di sebelahnya. Apalagi saat kubelai rambutnya yang agak tebal. Wanita itu menatapku dengan ekspresi yang sangat lain. Rasanya, ada medan magnet di antara kami. Gaya tarik menarik sekaligus tolak menolak.
“Bagaimana dengan neighbors?”
Aku gelisah karena Mulyani terlalu santai. Kami memang hanya tiduran. Tapi tetangga bisa bicara yang bukan-bukan.
“Kau ingat tetangga sebelah yang paling sering gosipin kita? Dua anak perempuannya hamil di luar nikah. Orang yang mulutnya paling ember itu justru orang yang paling bermasalah.”
“Begitukah?”
“Iya. Kasus hamil di bawah umur lebih parah dari Amerika, Dani. Karena hukum di sini tidak membela kami. Walaupun kamu memperkosaku malam ini, tetap aku yang akan disalahkan semua orang. Aku sadar itu.”
Dia lirik dasternya sendiri. Menunjukkan malam ini sedang memakai dalaman lengkap.
“Apalagi kasus perselingkuhan. Kalau di negaramu bisa berakhir di penjara. Di sini, kasus perselingkuhan genre novel paling populer.”
Aku mau tertawa karena komentarnya. Syukurlah, dia bersungguh-sungguh soal batasan. Aku percaya kesungguhan itu karena Mulyani sampai sekarang masih perawan. Dia tahu cara menjaga diri. Kami bahkan mengobrol tanpa pelukan, apalagi ciuman.
“Aku sadar, Dani. Komitmenmu menikahiku karena aku yang memaksanya. Kamu masih ingat? Impianku yang sebenarnya demi jadi kepala desa.”
“Terus, kenapa berhenti?”
“Karena gak punya duit,” jawabnya santai. “Jadi kepala desa itu modalnya milyaran. Aku gak sanggup. Dan aku juga gak mau masuk parpol. Isinya cuma bagi-bagi proyek gak jelas. Ya sudah, duitnya kubeliin rumah ini.”
Tanpa sadar, aku pindah posisi. Mulyani tak keberatan saat aku menindihnya. Tapi jarinya menyentuh bibirku saat aku hendak mencium.
“Kamu punya hutang janji, Tuan Jean Wilson. Bayar itu dulu.”
***
“Kamu tahu? Si Asyu membantuku untuk ini.” Dia sebut nama teman masa kecil kami, satu-satunya teman akrabku dulu selain Mulyani. “Dia yang membantuku menyusun program untuk jadi kepala desa. Tapi semenjak dia sibuk, kami mulai jarang komunikasi. Orang itu jenius loh. Ini karya kami 15 tahun lalu.”
Tengah malam, kami bicara di antara tumpukan kertas. Mulyani makin ceria saat menyusun kertas itu dan menunjukkannya kepadaku. Mood-nya berubah total saat sedang bicara mimpi. Wajah antusias itu masih sama. Kubaca lagi tumpukan berkas yang ternyata program-program pengembangan desa. Kebanyakan program wisata.
“Aku mau Grajagan jadi kampung Surfing. Aku mau rumah-rumah di sini jadi Homestay. Biar masyarakat punya penghasilan selain nelayan. Aku ingin warga Grajagan jadi warga internasional. Tidak kaget melihat tamu asing. Aku ingin banyak orang berbahasa Inggris.”
“Oh, karena itu jadi guru?”
Mulyani mengangguk cepat.
“Iya. Asyu menyarankanku jadi guru. Jadi, walau belum punya modal uang, aku harus kumpulkan modal SDM. Murid-muridku jago conversation loh. Mereka berani ngobrol sama tamu asing. Lulusan kampus saja gagap bicara. Dan kamu tahu? Sebagian besar muridku jadi guide di Bali. Mereka bawa tamu ke sini. Sebagian lagi sudah sering ke luar negeri.”
Aku terpana melihatnya. Kepercayaan dirinya menyihirku. Mulyani terlihat cantik saat bicara sejauh mana pencapaiannya. Padahal, di mata orang lain, dia mungkin kurang menarik. Winda pun tidak cantik. Begitu pula Megan. Hanya Catherine yang benar-benar cantik secara fisik. Juga seorang wanita yang bernama Renee Jean Wilson, ibuku sendiri.
“Butuh berapa kepala desa?”
“Minimal dua milyar rupiah. Atau 143 ribu dollar.” Mulyani menjawab tegas, menunjukkan angka-angka di atas kertas. “Dan aku butuh bantuan media. BCW bisa?”
“Sure. Apa benefit untukku?”
“Investasi Pariwisata.” Sekali lagi wanita itu menjawab tegas. “Kalau aku jadi kepala desa, apapun investasimu di desa ini akan kuprioritaskan. Property, wahana destinasi, travel, you name it. Aku yakin kamu bisa baca peluangnya.”
“Segera susun summary. Setelah itu hubungi Megan.”
Kurang cantik apa, coba?
Dari kecil dia pandai cari uang. Dan ternyata kemampuan itu dia asah sampai sekarang. Obrolan bisnis bukan masalah baginya. Obrolan itu justru memancing gairahnya, hingga aku panik saat Mulyani tiba-tiba menyibak daster.
”Dani, mau investasi sekarang?”
"Hold on, lady. Kamu sudah janji."
Mulyani tak menggubris. Tapi belum sempat dia menerkan, ponselku berbunyi nyaring. Seseorang memintaku melakukan video call. Orang itu adalah Respati.
"Hai Kusuma Wardani."
Aku terhenyak.
Baru saja kuangkat telpon, dia sebut nama kecilku.
"Sudah bertemu pacar pertamamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...