Setahun Kemudian, Jakarta.
"Pemirsa, nilai tukar dollar hampir mencapai 20 ribu rupiah. Harga kebutuhan menanjak 50 persen. Pembelian tanah besar-besar di Sumatra ditenggarai sebagai faktor tingginya inflasi. Partai Tiga Arah, pihak yang diklaim bertanggung-jawab..."
Di sebelahku, beberapa orang menonton berita dengan wajah ketar-ketir. Krisis moneter benar-benar terjadi. Nilai tukar terjun bebas setelah orang kaya berbondong-bondong menukarkan dollar mereka. Dan keadaan itu baru tahap awal. Respati masih punya rencana lanjutan, yang memaksaku harus pergi ke ibu kota.
Pip!
"Sudah selesai?" Respati menelpon.
"Iya. Kamu dimana?"
"Di jalan. Setelah ini kujemput. Gimana? Cenut-cenut?"
"Oh come on, just drop it. Jemput aku di klinik tadi."
Gara-gara Respati, aku wira-wiri di Asia Pasifik. Sesekali pula pulang ke New York dengan agenda makin padat. Jam biologisku berantakan diserang jet-lag. Pokoknya sibuk. Sampai-sampai rencana pribadiku baru keturutan. Syukurlah bisa kerja walau jalanku harus mengangkang.
"Damnit! Stung like a b*tch!"
Suaraku sampai serik. Kakiku gemetaran begitu keluar dari klinik sunat dewasa. Rasanya nyeri. Ujung kulup yang alot itu sampai disuntik berkali-kali. Saat ini mulai cenut-cenut. Anastesinya mulai meredup. Celakanya, si keparat itu menjemputku dengan kendaraan tidak terduga.
"Hah? Pakai motor?"
"Iya, aku part time jadi ojol. Herlyn makin pelit sejak jadi ibu. Ayo berangkat."
"Aku baru sunat!"
"Duduk menyamping."
Kepalaku menggeleng cepat. Setelah akrab, aku makin sadar pria itu memang sinting. Dia enak-enakan jadi ojol setelah membuat negaranya menderita krisis moneter. Dan sekarang, dia mau membuatku kehilangan keturunan.
"Aku pakai taksi."
"Ck! Ya sudah. Temui aku di pub. Jangan sampai telat."
Jalanku masih mengangkang saat taksi sudah menjemput. Aku rebahan di kursi belakang seperti orang tak punya aturan. Kami ada janji di sebuah pub. Respati berencana mengenalkanku ke tiga parner lain, orang-orang yang paling dia percaya. Ada CEO perusahaan property, ada mantan orang nomor satu di industri pangan, ada pula orang militer yang menangani intelejensi.
Proyek kami masih rahasia. Sama rahasianya seperti aku yang baru sunat setelah umur 33. Padahal sudah goal tiga bulan lalu. Kunikmati perjalanan itu, sambil menelpon seseorang yang sekarang aku rindukan.
"Bulan depan pemilihan kepala desa," katanya.
"Yeah. Aku masih sibuk di Jakarta. Minggu depan pulang."
Di depan kamera, Ayu senyum-senyum. Penampilannya makin cantik dengan rambut bergelombang. Dandanannya pun makin berkelas setelah mengganti nama belakang.
Ayudisa Jean Wilson.
Gara-gara dia, aku terpaksa sunat dewasa.
"Mas, serius Mas Asyu ngasih liburan satu bulan?"
"Iya. Aku bantu kamu kampanye. Perut gimana?"
"Baru tiga bulan, Sayang."
Ada haru yang kurasakan saat Ayu tersenyum manis. Pernikahan kami tidak meriah. Megan juga hadir waktu itu. Hubungan kami masih professional walau dia menyudahi perasaannya kepadaku. Toh, di mata feminist seperti dia, karir nomor satu dan cinta nomor dua. Sedangkan aku pria melankolis yang sangat butuh diutamakan. Ayu pun tak keberatan sekretaris itu mendampingiku kemana-mana.
Professional.
"Mas, aku punya kejutan."
"Kejutan apa?"
Mataku melebar. Jakunku naik turun saat istri memindahkan kameranya.
"Noooooo!"
"Gimana? Lingerie-nya oke gak?"
"F*ck! It's hot! Hot! Hot!" Aku menjerit di dalam taksi gara-gara manuk berdiri.
"Mas kenapa?"
"Aku baru sunat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...