“Kamu tahu? Setelah kamu pergi, Pak Kus depresi. Dia pindah ke kota lain.”
Di ruang tamu, Mulyani duduk santai di sebelahku. Gayanya jadi kalem. Tapi pantatnya tak bisa diam karena kursinya terlalu keras.
“Pak Kus?” Kutanyakan nama asing yang tadi dia sebutkan.
“Kusnadi. Ayah kandungmu.”
Sebelah alisku terangkat.
Aku baru tahu nama ayah biologis-ku.
“Oh, kamu tahu kabarnya?”
“Iya. Dia di Sidoarjo ikut pamanmu. Waktu Kamu ke Amerika, dia kena kasus. Selingkuh sama istri orang. Itu loh, Bu Lik Marni. Dan istrinya hamil. Akhirnya kabur karena malu. Dia menikah lagi dan punya anak perempuan. Namanya Fitria atau siapalah. Aku lupa. Aku terakhir bertemu waktu usianya lima tahun. Mungkin sekarang seumuran Farhan. Yeaah 22 tahunan lah.”
Dahiku makin terkeenyit.
Aku punya saudari di Indonesia?
"Kamu ingat si Asyu?"
Dahiku terkernyit lagi.
"Dia satu-satunya sahabat kita, Dani. Si penipu itu sekarang jadi pengusaha besar. Kemarin nikah sama orang Amerika."
"For real?" Aku pura-pura antusias walau sebenarnya tak ingat juga.
"Iya. Dia masih ingat kamu. Anak itu gila. Saat orang lain mentertawakanku, dia mendukung. Dia tak menghinaku yang menunggumu bertahun-tahun. Asyu bilang, impian itu doa. Tuhan pasti mengabulkan walau mustahil. Asyu dulu juga ditertawakan karena mimpinya menguasai dunia. Akhirnya apa? Mereka yang menertawakan sekarang kicep."
Bola mataku kemana-mana. Obrolannya terlalu panjang untuk bisa kuterjemahkan.
Mulyani ngomong apa, sih?
Aku kehilangan antusias. Aku tak minat lagi pada topik tenang ayahku, saudari tiriku, atau sahabat kecilku yang entahlah dia siapa. Kami hanya orang asing. Aku lebih tertarik pada foto di rumahnya, foto Mulyani waktu sedang menimang Denise.
Foto itu masih mengganjal kalau boleh jujur. Dilihat dari manapun, Denise terlalu mirip dengan Mulyani. Agak sulit dipercaya jika dia anaknya Winda. Dan aku pun teringat lagi tanggal-tanggal diary Mulyani yang belum sempat aku baca. Dia berhenti menulis sembilan tahun lalu, atau tepat saat Denise lahir. Aku pun menanyakannya saat Mulyani kipas-kipas.
“Denise anakmu?”
Dahi Mulyani langsung berkerut. Dia bersikap seperti orang sedang mendengar pertanyaan bodoh. Wanita itu baru paham pertanyaanku saat kutunjuk sebuah foto.
“Ooo, Denise itu keponakanku. Dia memang anaknya Mbak Prah.”
”Serius?”
“Astaga Dani, aku masih perawan. Aku tak pernah disentuh pria manapun. Periksa saja kalau gak percaya. Aku mau kok. Ayo, sekarang.”
Kucubit hidungnya karena dia masih memancing. Terlebih saat Mulyani mengungkit masa kecil kami, saat aku sering memandikannya. Dia bahkan tak malu lagi menyebut hobi terkutuknya dulu pada alat kelaminku. Syukurlah tak diperpanjang.
“Iya. Denise memang mengambil dari namamu. Karena aku yang memberinya nama.”
Mulyani beranjak sejenak untuk sedikit menutup pintu. Pembicaraan itu pasti penting sampai orang tak boleh tahu. Sudah pasti telingaku terpasang lebar.
“Dua bulan sebelum Denise lahir, ayahnya meninggal. Mbak Prah depresi. Dia tidak sanggup mengasuh Denise. Bahkan tidak sanggup mengurus dirinya sendiri. Aku yang urus mereka berdua.”
Oh, pantas saja wajahnya capek di foto itu. Aku pikir dia capek setelah melahirkan.
“Dan kamu tahu, Dani? Setelah Denise lahir, aku sudah putus asa menunggumu.” Dia menggeser pantatnya lebih dekat, menyandarkan kepalanya ke bahuku. “Aku sudah mengikhlaskanmu sembilan tahun lalu. Tapi tak semudah itu bisa jatuh cinta ke pria manapun. Ada bagian dari diriku yang tidak mengizinkannya.”
“Aku juga."
"Kamu ... jadi kamu serius belum pernah jatuh cinta pada siapapun selain aku?”
"Iya. I feel like something is holding me back to love someone."
Jawabanku seperti korek yang menyulut sumbu petasan. Mulyani beranjak dan mengajakku agak kedalam. Aku paham maksudnya. Dia ingin suasana mesra tanpa mulut comel tetangga. Kugendong dia saling menghadap dan menempelkannya ke tembok kamar.
“Aku bahkan tak tahu perasaanku, Dani. Aku tak tahu apakah aku jatuh cinta padamu saat ini.” Mulyani nampak sendu. Dia bicara lirih setelah sesaat mencium bibir. “Karena Dani yang kucintai selama ini adalah Dani khayalanku sendiri. Dan aku sudah berhenti mengkhayalkan itu.”
“Oh, karena itu kamu stop tulis diary?”
“Diary?”
Duh, keceplosan. Mulyani merah padam setelah tahu kelakukanku. Wajahnya jadi galak.
“Kamu baca diary-ku?”
“Ah, well, you know, I just curious.”
Moment romantis kami langsung rusak saat Mulyani menonjokku.
***
“Aku sudah tangani bersama Thomas. Ada kemungkinan Silver Bridge mengalihkan proyek ke Thailand. Terusan Kra. Basis otorita dan Zona Ekonomi Eksklusif. Kamu tahu? Masalah klasik di Indonesia.”
Di depan laptop, Megan memberi laporan. Pekerjaannya makin bertumpuk. Tapi sejauh ini berjalan mulus. Atau lebih tepatnya dimulus-muluskan. Aku makin sadar alasan Indonesia sampai sekarang masih jadi negara berkembang.
“Jeez, negara itu kebanyakan partai.” Megan menyinggungnya.
Sebenarnya pekerjaan kami sangat sederhana. Aku menghubungkan kepentingan Respati ke ribuan daftar nama kami di seluruh dunia, sekaligus mendampingi perusahaan rekanan Silver Bridge yang mengerjakan semua proyeknya. Namanya PT. Griya Cipta Konstruksi. Untuk sisanya bisa dikerjakan BCW cabang di Indonesia. Katakanlah di jasa periklanan dan hubungan komunitas. Terlebih, Silver Bridge dan PT. Griya Cipta Konstruksi akan mengerjakan enam titik Zona Ekonomi Eksklusif, yang sudah pasti akan menarik investasi jutaan dollar.
Sederhana, bukan?
Akan tetapi, Indonesia terlalu ribet. Kekuasaan presiden tidak absolut. Khas negara demokrasi multi-partai. Di negara ini terlalu banyak perut yang harus diisi hanya demi kata setuju. DPR-nya saja bukan dari kalangan netral seperti di Amerika. Melainkan politisi. Persis kaos kampanye yang pernah kupakai di Grajagan.
“Proyek ini sangat sensitif karena berhubungan dengan politik. Kamu tak perlu ke Jakarta dulu."
"Hah? Serius?"
"Iya. Tuan Respati sendiri yang akan datang ke Grajagan. Kamu mungkin tidak percaya, pria itu mengenalmu. Dia bahkan tahu masa kecilmu di Indonesia. Proyek ini akan sangat rahasia, Danny. Kehadiranmu tak boleh terendus. Bahkan untuk perusahaan operator."
Di depan layar, Megan selalu anggun. Apalagi saat memakai baju kerja. Fiturnya 100% kaukasuid. Hidungnya mancung, kulitnya putih pucat, pipinya bertabur noda, tingginya saja hanya selisih dua inchi dari tinggiku. Kira-kira 173 ukuran senti. Wanita itu bicara lagi setelah mengatur temu janjiku dengan Respati.
“Danny, berhati-hatilah. Pria itu sangat eksentrik. Dia jenius sebagai pebisnis. Tapi bersikap semaunya. Tipikal orang yang suka merokok di samping logo larangan merokok. Dan kamu tahu? Pria itu ambisius. Mungkin bercita-cita menguasai dunia atau entahlah. Jeez, eksekutif tampan seperti kalian tak ada yang normal.”
Pertemuanku dengan semua rekanan sudah ditentukan. Megan bersikap santai setelah kami membahas kerja. Wanita itu semakin sibuk sampai-sampai tidak sempat bicarakan topik pribadi. Dulu pun sangat jarang karena aku masih pendiam. Sekarang mulai leluasa. Wanita itu tersenyum teduh saat melepas kacamatanya.
“Kamu ingat waktu awal-awal kita bersama? Dulu aku sering bilang bahwa cinta hanya aktivitas hormon dopamin. Sama seperti narkoba. Kita bisa bahagia, berhalusinasi, ketergantungan, juga merasa kesal kalau sampai tak punya lagi. Lucu ya?”
“Dan sekarang?”
“Narkoba bisa dibeli. Tapi tidak untuk hatimu. Apa aku masih punya kesempatan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...