Ck! Kenangan itu lagi.
Mataku masih buram setelah bebas dari mimpi buruk. Lebih tepatnya, salah satu dari jutaan kenangan buruk dari tabiat ibu hedonist. Dosa ibuku sudah tak bisa terhitung lagi. Dan setelah dia meninggal, kebencian yang kusimpan telah meluap ke permukaan.
Aku butuh obat penenang.
"Nih, ketinggalan di meja makan."
Aku terhenyak setelah sadar ada si cantik di sebelahku. Siapa lagi kalau bukan Catherine? Gadis itu paling senang melihatku tertidur pulas.
"Kenapa bibirku basah? Kamu menciumku lagi?"
"Pasti mimpi tentang ibu ya?" Dia alihkan perhatian.
"Kembali ke kamarmu."
Gadis 23 tahun itu menggeleng cepat. Dia sodorkan segelas air setelah membantu memilah-milah butiran obat. Kuminum racun itu agak tergesa karena efek pasca trauma.
"Ayolah, Danny. Ibu sudah meninggal. Bisakah kau melupakannya?"
Aku tidak menjawab. Beranjak dari ranjang, aku duduk di tepi jendela demi melihat suasana malam. Batinku agak ringan saat memandang kerlap-kerlip hiasan natal. Indah sekali. Pemandangan di Canarsie tak akan mungkin kudapatkan di Manhattan.
"Kenapa masih disini?"
"Meggy pasti kesal tidur sendiri, hahahaha! Pamer ahh!" Catherine mencium pipiku dan memotretnya untuk Megan.
Aku kesal. Tapi bibirku tersenyum getir. Kenangan itu terlalu nyata, sampai-sampai wajah dewasanya tergantikan masa kecil. Aku masih ingat wajah itu. Wajah pucat Catherine saat terbaring di ICU. Rasanya baru kemarin dia tak makan lima hari karena ulah seorang pelacur.
Hingga tanpa sadar, aku beranjak menuju ranjang hanya demi memeluknya.
"Ayolah, Danny. Bisakah kau lupakan masa-masa itu? Ibu sudah tak ada. Dan aku baik-baik saja."
"Aku mencintaimu."
"Iya, aku tahu kamu mencintaiku. Aku tak apa-apa, sayang."
Pelukanku justru makin erat saat saudariku menenangkan. Gara-gara ibu, aku takut dengan pernikahan. Aku takut mengalami nasib sama seperti Michael. Pria itu terlalu lembut sampai terjebak komitmennya sendiri. Ibu pasti dipenjara andai Michael melaporkannya. Tapi dia lebih memilih membelikan apartment daripada dipusingkan tetek bengek perceraian.
Hasilnya?
Si jalang itu pulang setelah menjual apartmentnya demi narkoba.
"Aku menyayangimu, Cathy. Aku janji menuruti apapun maumu."
"Iyaa, kamu selalu menurutiku."
"Katakan padaku. Apa yang kamu minta sekarang?"
"Apapun?"
"Iya. Mintalah apapun."
Catherine senyum-senyum saat kami bertatapan. Akal sehatku kembali karena hafal senyum itu. Apalagi saat wajahnya jadi dewasa. Seperti yang kuduga, dia pejamkan mata sambil mengetuk bibirnya sendiri.
"Danny, cium aku."
Tanpa pikir panjang, kuraih dagunya dengan jariku. Selembut mungkin kutuntun bibirnya saat matanya kian terpejam. Napas Catherine agak tersengal. Wajahnya terlalu cantik.
"Nih, cium sepuasnya." Kubenamkan wajah cantik itu ke ketiakku yang masih becek.
***
Hari ketiga sejak CEO memberi cuti, jadwal penerbangan belum dipastikan. Akupun masih sibuk dengan pekerjaan yang seharusnya tak boleh ada. Sesuai janjiku pada Catherine, aku menjemputnya di Columbia University. Tentunya didampingi Megan. Kami harus datang lebih awal sebelum Catherine dijemput pacarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...