Winda adalah Mulyani?
Kenapa tidak mengaku?
Kenapa menyuruhku berputar-putar?
Kenapa tidak bilang dari awal?
Berjuta tanya bermunculan di kepalaku. Segalanya serba kontradiktif. Kepalaku mulai pusing sampai tak sadar Denise sedang mencolek-colek.
“Om, setelah ini kita kemana? Aku bosan nih. Temani aku main lagi yuk. Tapi main di mana ya enaknya?”
Aku menunjukan gestur berpikir berlebihan. Seperti presenter Nickelodeon. Semakin mengenal Denise, aku makin ekspresif. Sering bertingkah seperti anak kecil.
“Aku tidak tahu. Kamuh punya sebuah idea?”
Denise menaruh jarinya di bibir sendiri. Matanya terpicing saat pupilnya kemana-mana. Persis gaya Mulyani saat berpikir.
“Om, main ke rumahku yuk! Aku kenalin sama Mommy!” Dia malah memberi ide terburuk.
Aku jelas menolak. Denise tak tahu bahwa aku kenal ibunya. Entah dia Mulyani ataupun Winda, dua-duanya sama-sama bermasalah denganku. Apalagi jika mereka orang yang sama. Masalahnya double kuadrat. Sedangkan Denise, dengan lugunya dia memaksaku sambil menunjuk kunci motor.
“Om ini gimana sih? Masa gak pernah main ke rumah? Padahal sering nganterin. Padahal selalu jemput aku dari sekolah. Ayo dong! Kita main di rumahku.”
“Nope!”
“Ohh, nolak lagi ya?”
Aku gelagapan saat Denise makin memaksa. Sebisa mungkin aku bergeming di depan hotel. Gadis itu justru meraih kunci motorku dan berlari ke arah pantai.
“Kalau Om gak main ke rumah, kunci motormu jadi makanan ikan.”
“Are you kidding me!”
Kami terpaksa kejar-kejaran. Denise benar-benar melemparnya. Aku terpaksa melompat ke ombak demi mencari kunci motor. Untung saja ketemu. Gadis itu masih tertawa saat kujewer telinganya, tak ada takutnya sama sekali.
“You're a trouble make like your Mom! Okay, deal! I'll go with you!”
“Hahahaha! Gitu dong!”
“Damn it!”
Bagaimana ini?
Aku tak siap bertemu ibunya.
***
“Sister Cathy memintaku ke Amerika loh. Nanti aku diajak ke Patung Liberty. Patungnya tinggiii!”
Di sepanjang jalan, Denise tertawa riang. Tangannya selalu bergerak saat mulutnya berbicara. Kadang menunjuk obyek di sekitar kami sambil menjelaskan.
Oh iya, Denise suka berdiri di bagian depan. Hobinya mengetuk-ngetuk spidometer. Bibir kecilnya tak bisa diam di sepanjang perjalanan. Lucu sekali. Kami saling berinteraksi, sampai motor tiba di depan rumahnya. Sebuah rumah yang menggerus perasaanku.
“Om kenapa? Kok tiba-tiba murung?” Denise bertanya begitu turun dari motor.
Aku hanya menggeleng. Mataku melihat nanar depan rumah yang sama persis seperti rumah yang kuingat. Tempatku besar bersama Mulyani. Hanya saja, temboknya sudah dihias dengan porselen. Pelatarannya pun bukan lagi taman, melainkan lantai tambahan untuk parkir motor. Sisanya masih sama seperti yang kuingat 24 tahun silam.
Napasku terhela panjang. Bisa jadi Mulyani kecil sudah tak ada, berganti Mulyani dewasa yang dikenal sebagai Winda. Pacar pertamaku sudah bahagia. Aku tak boleh mengganggunya.
“Om kok malah bengong sih? Ayo masuk.”
Aku menggeleng pelan. Masih takut kalau suami Winda salah paham. Urusannya bisa panjang.
“Om ini gimana sih? Sudah disini gak mau masuk. Ayo dong.” Denise seenaknya menarik kaos.
“Ehem! Where is your Dad?”
Pada akhirnya, kuungkapkan pertanyaan itu. Rasa penasaranku akan pria mana yang jadi ayah si gadis tomboy. Tanpa kuduga, jari Denise malah menunjuk ke atas langit.
Ayahnya meninggal?
Ibunya janda?
“Kok Om sekarang senyum-senyum sih? Orang dewasa memang aneh.”
Kututup mulutku gara-gara keceplosan.
“Maaf, I shouldn't have asked that.”
“It's okay, it's okay.” Gadis itu malah terkekeh berkacak pinggang. "Kata Mommy, Daddy ke surga sebelum aku lahir. Om Wilson kenapa tanya? Mau jadi Daddy-ku ya?"
Kepalaku menggeleng cepat.
Pertanyaan itu malah berbalas ranjau darat.
“Aku tidak mahu jadi Daddy.”
“Om belum tahu Mommy, sih. Dia cantik, loh. Om pasti suka. She's hot chick! Ayo ke rumah. Mau aku kenalin.”
“Nope!”
“Masuk gak? Atau kupukul!”
Aku panik saat Denise makin memaksa. Seperti tadi, aku tetap diam di atas motor. Dan lagi-lagi gadis itu tak hilang akal. Dia raih kunci motorku dan berlari ke dalam rumah. Setelah itu membuka jendela dan memamerkan barang curiannya.
“Kalau Om gak masuk, Om gak bisa pulang! Masuk gak? Atau kuncinya kujeburin sumur.”
“That little sh*t!” Aku sampai mengumpat.
***
Setelah 24 tahun, pada akhirnya aku kembali ke rumah itu. Aku duduk di ruang tamu yang menggores luka hatiku. Luka lama yang tak mau kuingat lagi. Interiornya sama persis. Hanya perabotannya agak berbeda. Di pangkuanku pun ada Denise, gadis nakal yang menyeretku ke masa kecil.
Lengkap sudah.
“Where's the key?” Kuulurkan tangan ke arahnya.
Denise menggeleng. Kunci motornya dia sembunyikan. Gadis itu malah bergeliat di pangkuanku seperti bayi minta ditimang.
“Om Wilson jadi Daddy-ku dong.”
Ah, permintaan itu lagi.
“Kenapa kamu mahu aku Daddy?”
“Because you're handsome, kaya, pintar, tinggiiii,” katanya sambil memperagakan gerakan tangan.
Padahal 70 inchi biasa-biasa di Amerika. Atau 178 senti ukuran metrik. Tapi di Indonesia terbilang jangkung.
“I can't marry your mom.” Aku masih menolak. Menggeleng cepat dengan tangan tersilang rapat.
“Why?”
Anak kecil tak akan paham sebaik apapun aku jelaskan.
“Kawrena aku tak kenal your Mom.”
“Ya kenalan dong.”
Dalam sekejap, mulutku kena skak.
“Kan Om bisa kenalan, terus jatuh cinta, pacaran, terus menikah deh. Bikin adek deh buat aku. Iya kan iya kan?”
Astaga, makan apa anak-anak jaman sekarang?
Waktu aku seumurannya, pacaran saja aku tak tahu. Apalagi pernikahan. Aku baru tahu konsep menikah setelah umur 14 tahun. Serius, setelat itulah pemahamanku.
“Mommy mana sih? Ada tamu kok malah kabur?”
Denise gelisah sendiri. Masih juga tiduran di sofa berbantalkan pahaku, persis gaya Catherine.
“Padahal aku bawa Om-om ganteng buat dia.”
Gadis itu sudah tak sehat.
Aku makin gelisah. Apalagi saat Denise berlari kesal menuju dapur mencari ibunya. Dia terdengar berdebat dengan perempuan yang suaranya familiar. Setelah beberapa saat, gadis itu datang lagi sambil mendorong perempuan yang kukenal.
“Hai Tuan Wilson, apa kabar?”
Benar dugaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...