Arlojiku menunjukkan jam tujuh petang waktu New York. Atau jam tujuh pagi Waktu Indonesia Bagian Barat. Dalam Artian, New York dan Grajagan tepat berada di belahan Bumi berlawanan. Suasana terang benderang. Suara mesin perahu riuh menggema, menyuguhkan segala memori untuk orang yang kurang tidur.
Tapi bukan karena jetlag.
Aku susah tidur karena makhluk sialan yang hobinya menghisap darah.
“Pagi, Danny.”
Segera kubuka pintu saat seseorang mengetuknya. Winda agak cemas saat kuberi wajah malas.
“Tidurmu nyenyak?”
“Sangat nyenyak, Winda. Terima kasih.” Kutunjukkan kantung mataku, keringatku, dan bentol-bentol di seluruh kulit.
Pemandu itu semakin cemas. Aku majukan badan karena mengendus bau asing. Lezat sekali. Kulirik benda plastik yang Winda bawa di tangannya.
“Ini sarapan kita,” katanya, menunjukan wadah biru yang dia sebut rantang makanan. “Aku masak sendiri. Ayo makan.”
Aku menurut saat Winda memintaku cuci muka. Wanita itu menyiapkan makanan di meja balkoni setelah aku keluar kamar. Entah dimana dia memasaknya. Hidangan itu terlalu lezat untuk boleh dipertanyakan.
“Kamu yang masak?”
“Kenapa?”
"Pria Indonesia benar-benar buta."
Winda malu-malu setelah kurayu kesekian kalinya.
“Danny, setelah ini kita langsung cari rumah. Pakai motorku.”
“Motormu?” Kulirik skuter matic di depan hotel.
“Uhhmm, maksudnya sewa. Aku punya kenalan di desa ini. Sudahlah, ayo makan.”
Jawaban itu mencurigakan. Seprofesional apapun wanita itu, langkahnya terlalu mulus. Seakan-akan dia tinggal di desa ini. Mencurigakan sekali. Terlebih saat aku menyantap masakannya.
Bagiku, seseorang yang sering menyantap hidangan Catherine, aku bisa rasakan ada cinta di masakan Winda.
***
Dulu, Indonesia dijajah demi rempah. Bahkan ratusan tahun lalu, Manhattan, jantung Kota New York, pernah hampir ditukar dengan salah satu pulau rempah di Indonesia. Seperti itulah kekuatan bumbu di Nusantara. Hidangan Winda menghancurkan formalitas di antara kami. Aku belum pernah selepas ini. Bibirku masih tersenyum saat beranjak untuk segera mencari rumah.
“Hmmm ...” Winda agak ragu naik motor. Dia justru sodorkan kunci, memintaku duduk di depan.
“Hah? Aku yang nyetir?”
“Ya iyalah, kamu kan laki-laki?”
“Apa hubungannya?”
“Budaya, Danny! Ini budaya! Jangan samakan seperti Amerika!”
Aku terpaksa menurutinya. Bahkan di Kota New York, aku paling jarang naik motor. Badanku terasa kaku saat motornya mulai berjalan.
“Bisa naik motor gak sih?”
“Bisa, tenang saja. Naik tank juga bisa.”
Jarak hotel kami ke perkampungan kira-kira satu mil. Agak jauh. Aku menyetir dengan badan semakin tegang. Awalnya biasa saja. Tapi lama-lama jadi berbahaya. Karena ternyata negara ini jauh berbeda dari Amerika. Terang saja, Winda teriak kencang saat motor kami hampir menabrak pemotor lain.
“Wong Edan!” hardik pemotor itu. Berbalas senyum malu dari bibirku. Apalagi reaksi Winda. Dia menutup wajah saking malunya.
“Sudah kubilang salah lajur! Ini bukan Amerika!”
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...