"Loh, kamu Dani? Apa kabar?"
Di pagi buta, saat aku berolah raga bersama Mulyani, seseorang memberi sapa. Aku langsung kenal siapa beliau dari caranya berpakaian. Langsung kucium tangan Pak Totok yang nampaknya baru selesai sholat subuh.
"Subhanallah, kamu sudah besar nak," ujarnya, sembari melirik Mulyani yang senyum-senyum di sebelahku. "Kapan kalian nikah? Masa dari kecil pacaran terus?"
"Doakan ya Pak Ustadz, secepatnya!" Mulyani menjawab lantang.
Diam-diam, kucubit pinggang Mulyani saat kami berbasa-basi. Pak Ustadz nampak tua. Sampai detik inipun beliau masih mengajari anak-anak Grajagan untuk bisa baca Al Quran. Pria itu masih bersahaja seperti dulu. Aku bisa mengenalnya karena beliau juga bersikap seperti ayahku.
Kucium tangannya lagi dan memberinya sebuah pelukan. Aku bersyukur pria baik itu masih sehat.
"Kamu tahu? Nasib Pak Ustadz juga sama sepertiku. Impian beliau terhalang uang. Sampai sekarang belum naik haji."
"I'll help him."
"Kamu serius?"
"Yes."
Di sepanjang jalan, kami masih membahas topik-topik tentang desa. Terutama pengeluaranku untuk donasi. Entah itu santunan anak yatim, beasiswa, perbaikan fasilitas desa, semua aku tentukan dari sekarang.
Hitung-hitung curi start kampanye untuk Mulyani tahun depan. Sebagian lagi donasi pribadiku untuk Pak Totok, sesosok Ustadz yang meyayangiku sewaktu kecil. Kebetulan otoritas Arab Saudi temanku sendiri. Pak Totok bisa naik haji menggunakan kuota eksklusif. Tak perlu antri bertahun-tahun.
"Dani, kamu serius akan sering kesini."
"Iya. Gotta lotta works. Michael and Catherine juga ikut."
"Woaaaa, Om Michael mau kesini?"
"Iya. Dia mau bertemu Denise. You know? He keep asking me to adopt her."
Aku stress sendiri karena ayahku benar-benar sudah gatal ingin punya cucu. Denise mau dia bawa ke Amerika sebagai puteriku. Untung saja Winda setuju.
"Megan juga ikut?"
"Sure, she's my secretary."
Mulyani langsung cemberut. Tapi tertawa lagi setelah pantatnya kutabok keras. Aku tahu dia cemburu. Tapi aku senang dia paham, bahwa dia harus akur dengan Megan kalau mau bicara uang.
"Ke hutan yuk!"
"Banyan Tree?"
"Iya. Ayo ke beringin."
Matahari mulai membias remang subuh di Grajagan. Perasaanku benar-benar plong. Aku siap menjalani esok tanpa beban karena ibuku. Aku bahkan mulai bisa memaafkannya. Ibuku adalah korban dari masyarakat yang menganggap 'kawin' adalah solusi berbagai masalah.
"Dani, kamu lihat aku? Perempuan tak kawin sepertiku dianggap bermasalah. Tapi tetanggaku yang kawin tiga kali itu dianggap wajar. Padahal baru 20 tahun."
Kami masih jogging sambil ngobrol. Di sepanjang kami bersama, Mulyani aktif bicara. Wanita itu menjelaskan banyak hal yang dia amati selama ini. Topik itu kunikmati sampai kami tiba di hutan. Wajahnya makin ceria. Gaya tomboynya makin terlihat begitu kami telah tiba di tepi hutan.
"Dani, aku ingin bertanya. Kenapa kamu belum nikah? Apa karena takut kena kutuk? Aku kan pernah mengutukmu sewaktu kecil."
"It's just a myth."
Matanya langsung memicing. "Cuma mitos, katamu?" balasnya jengkel. Dia pelankan langkah, mendekatiku dan menunjuk kumisnya sendiri. Dia tunjukan pula bulu-bulu halus di tubuhnya, juga bagian dada yang semalam sempat kuraba.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...