Mataku berbinar-binar. Aku gembira saat Pak Totok memberiku Al Quran baru. Padahal santri lain wajib beli. Ustadz itu juga memberiku uang saku dan satu set pakaian ngaji.
“Kamu sudah khatam Al Quran. Ini hadiah dari Bapak. Sholatnya jangan bolong ya?”
Kuterima uang itu. Empat lembar uang bergambar monyet. Jumlahnya dua ribu rupiah. Bisa untuk makan berhari-hari. Padahal Pak Totok sendiri rajin menabung demi bisa naik haji.
“Kamu lebih butuh, Nak. Jadi anak sholeh ya? Mulai sekarang kamu lulus.”
Kepalaku menunduk. Mushalla itu tempat ternyaman bagiku. Karena Pak Ustadz sangat baik. Tapi sesuai peraturan, murid ngaji sampai bisa khatam Al Quran. Setelah itu mereka lulus. Tak perlu belajar lagi.
“Pak Ustadz.”
“Iya?”
“Kalau aku besar nanti, Pak Ustadz bisa ke Mekah. Aku janji.”
Pak Totok hanya tersenyum. Kata beliau, rezeki tak akan kemana kalau kita mau berdoa. Dan doanya tak boleh bohong. Setelah itu bekerja keras dan menanti datangnya rezeki tanpa mengeluh.
Tentu saja aku tak paham kata-katanya. Tapi akan kuingat kata-kata itu seumur hidup. Aku pun pulang ke rumah dengan membawa semua hadiah. Ada baju koko, sarung, peci, sajadah, harganya pasti mahal. Ayahku saja tak pernah belikan. Pria itu hanya diam di ruang tamu sambil meminum minuman bau.
“Riniii! Awas kamu pulang! Gara-gara kamu ibuku mati!”
Aku malas menyapanya. Kupilih langsung ke kamar dan menyalakan lampu minyak. Kunyalakan pula kayu bakar di tungku dapur, membersihkan beras dan memasaknya. Setelah itu menggoreng tempe seperti yang kutiru dari nenek.
Aku sangat merindukannya.
Sedangkan Ayah, dia masih teriak-teriak menyebut ibu. Setelah itu masuk ke dapur dan tiba-tiba menendangku.
“Memasak itu pekerjaan perempuan! Kamu ini laki-laki.”
Aku tak peduli. Kalau aku tidak masak, ayahku juga marah karena dia tidak makan. Padahal punya uang untuk beli minuman bau. Tapi orang itu tak pernah mau pergi ke warung. Beli beraspun tidak.
“Kamu ini tuli, hah?”
Ayahku semakin marah karena aku tidak menjawab. Tapi kemarahannya mereda begitu melirik kresek hitam, bingkisan hadiah dari Pak Totok.
“Wah, kalau dijual, bisa beli anggur merah nih. Wohohoho, ada duitnya juga!”
“Yah, jangan!”
“Syukur-syukur aku merawatmu! Jangan membantah orang tua! Kamu mau masuk neraka?”
Aku berusaha mengejar ayah. Meninggalkan secepuk beras yang baru kucuci. Kupegangi kakinya saat ayah keluar rumah sambil tertawa.
“Itu punyaku!”
“Kamu membantah orang tua?”
Ayahku marah lagi. Kali ini dia angkat badanku, berniat melemparnya seperti kemarin. Bisa-bisa membantingku ke atas tanah. Pasti akan sakit. Aku menutup mata saat badanku dia lempar.
Tanpa kuduga, saat aku di udara, seseorang menangkapku. Sepasang tangan yang dipenuhi gambar aneh. Tangan seorang preman. Aku begidik begitu sadar dua jarinya ternyata buntung.
Tidak salah lagi.
Itu tangan Pak Ali Pritil.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” Dia bertanya ramah. Menunjukan wajah brewok penuh codet. Aku pun mengangguk pelan karena takut melihat wajahnya. “Tunggu di sini dulu ya? Pak Ali ada perlu sama ayahmu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...