Kok masakannya familiar?
Kulirik rantang plastik yang dia bawa. Kali ini warnanya biru, persis rantang plastik yang biasa dibawa Winda. Denise menegurku saat aku menebak-nebak.
“Enak kan Om? Mommy bilang Om suka rendang.”
“Yes, wonderful!” balasku seadanya.
Aku tak ingin curiga. Tapi petunjuknya sangat kentara. Rendang itu rasanya mirip. Lidahku tak bisa bohong soal masakan. Aku merasa pernah memakannya.
“Ayo Om, antar aku pulang.”
Seperti ibunya, Denise menguap setelah kenyang. Dan waktu pun hampir malam. Sejak kularang naik sepeda, bukan pertama kalinya gadis itu kuantar pulang. Tapi baru kali ini aku sepakat mengantarnya sampai ke rumah. Biasanya sampai di gerbang pariwisata karena alasan sederhana.
Aku takut bertemu Mulyani karena tidak menepati janji.
Namun, hari ini berbeda. Ketakutan itu kubuang jauh karena sebuah rasa curiga. Terlebih sejak Winda tidak bisa kuhubungi lagi. Nomornya mati. Padahal sudah lewat jadwalnya pulang.
“Denise.”
“Yes?”
“Your mom kerja apa?”
“Taxi company.”
Ibunya kerja di perusahaan taksi?
Keringatku perlahan menetes.
“Your mom tiggawl di Banyuwangi?” tebakku lagi.
Bibir kecilnya melebar. Gadis itu antusias. Dia menjawabku dengan mata berbinar-binar.
“How did you know? Yes! Mommy tinggal di Banyuwangi. Tapi dia juga tinggal di Grajagan. Rumahku ada duaaa. Dan kemarin Mommy pulang dari Bali, loh.”
Ludahku tertelan berkali-kali.
“Rumahku di situ Om, right there!”
Aku makin terhenyak saat jarinya menunjuk jalan. Seperti yang kuduga, jalan itu belum pernah kulewati. Lebih tepatnya belum sempat karena Winda menghindarinya. Aku makin gelisah saat Denise mulai menunjuk sebuah rumah.
“Itu rumahku, Om. Ayo mampir. Mommy ada di dalam.”
Batinku berkecamuk.
Tidak salah lagi.
Itu adalah rumahku bersama Mulyani semasa kecil.
***
Sejak tahu rumah Mulyani, aku gamang lagi. Gelisah mempertanyakan apakah dia dan Winda orang yang sama. Petunjuknya terlalu jelas. Bahkan setelah kuamati, wajah Winda agak mirip Mulyani kecil. Aku baru sadar.
Apa Winda nama barunya setelah mengganti nama?
Kepalaku semakin pusing.
Tut! Tut! Tut!
“Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.”
“Damn it!” umpatku sekali lagi.
Dua minggu berlalu sejak terakhir komunikasi bersamanya. Sampai detik ini nomor Winda sangat sulit kuhubungi. Kalaupun tersambung, dia selalu pencet tombol ‘reject’. Seakan-akan tidak mau bicara denganku.
Ck! Terserahlah!
“Hai, apa kabawl? Beli nasi pecewl. Tidak pedas.”
Pemilik warung terkikik karena logatku. Setidaknya dia paham yang kuucapkan. Karena sejak diajari Denise, aku mulai berani berinteraksi dengan warga menggunakan bahasa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...