Aku Ikhlas

501 69 1
                                    

“Aku dibohongi 24 tahun ….”

Suaranya mulai serik di tengah malam. Mulyani tak mau makan. Masih diam menatap kosong sebaik apapun kami membujuk. Winda sudah putus asa. Sedang Pak Ali tidak sanggup berbuat apa. Menyerahkan sisanya padaku dengan sebuah senyuman getir.

"Le, Bapak gak maksa kamu sama Ayu. Bapak sadar kalian sudah beda. Walau tidak jadi, kamu tetap anaknya Bapak, ya?"

Tekanan itu terlalu berat. Tapi semua telah terjadi. Dalam hatiku, Danny Jean Wilson sedang berdebat dengan seorang Kusuma Wardani. Pikiranku masih menimbang. Aku masih gamang untuk meneruskan cinta monyet.

"Tenangkan Ayu ya, Le? Suruh dia makan. Bapak percaya padamu.” Beliau pun pergi meninggalkan kami.

Napasku terhela panjang. Aku tahu, hubungan ini sangat tak adil bagi Mulyani. Usia 33 tak lagi muda di Indonesia. Perawan tua bahan gunjingan di negara ini. Aku merasa bersalah. Tapi rasa bersalah tidaklah cukup untuk memulai hubungan serius.

“Aku pikir kamu akan melamarku. Ternyata bohong. Ternyata aku dibohongi 24 tahun. Aku pikir kamu kesini demi aku. Ternyata demi Bapak.” Dia ucapkan kalimat itu berulang-ulang.

Aku tak punya pilihan. Cara Indonesia tak ampuh lagi membujuknya. Kumasuki kamar Mulyani setelah mengunci pintu luar. Menghampiri wanita itu yang sedang duduk memeluk lutut. Menatap matanya selembut mungkin. Meraih dagunya dan perlahan dekatkan bibir.

Awalnya dia menolak. Tapi lama-lama jadi agresif. Cara Amerika ternyata efektif. Mulyani malah memelukku dengan napas agak terburu.

“Ayo ciuman lagi, aku masih penasaran,” katanya.

“Makan dulu. Mau kusuapi?”

“Iyah, mau!"

Aku makin sadar, dia jadi diri sendiri saat sedang bersamaku. Mulyani boleh feminim. Tapi tak boleh cengeng. Aku lebih suka Mulyani kecil yang tak takut pada apapun. Kepalanya bocor saja cuma tertawa. Dalam tubuhnya ada jiwa laki-laki. Mulyani mulai sadar sederhana itulah permintaanku.

“Danny, kamu cinta sama Megan?”

“Tidak.”

"Beneran?"

"Iya. Aku belum cinta siapapun."

***

Pagi harinya, Mulyani bangun dengan ceria. Matanya masih merah. Tapi senyumnya natural. Jawabanku semalam seakan memberi sebuah harapan.

Iya, aku belum mencintai siapapun.

"Ayo makan. Sini aku suapi," katanya. "Kamu dulu janji menyuapiku seumur hidup."

"Really?"

"Iya. Ayo gantian." Dia makin ceria.

Perasaanku mulai tenang. Konflik batin telah meredup, setelah Dani kecil dalam diriku terpuaskan. Inilah yang dia mau sejak dulu. Kesedihan mendalam karena perpisahan mulai luntur saat Mulyani menyuapiku. Terkadang gantian. Nampaknya, wanita itu juga ingin membayar kesedihannya 24 tahun silam. Mulyani sangat luwes seakan-akan kami menikah sudah lama. Dia tak peduli kehidupan kami saat ini jauh berbeda. Atau ada siapa saja dalam hidupku di Kota New York.

“Aku capek 24 tahun membayangkan masa depan, Dani. Dan lebih capek lagi mengingat-ingat masa lalu.” Dia bicara seakan menebak isi hatiku. “Mumpung kamu di sini. Aku ingin menikmati masa sekarang.”

“Ow, dewasa sekali?”

“Usiaku 33 tahun. Aku tak punya hak lagi meminta sesuatu yang diharapkan gadis remaja. Masa-masa itu sudah lewat.” Dia menjawabnya sambil tersenyum.

Bibirku pun ikut tersenyum. Tapi senyum itu senyuman getir. Dari nada bicaranya, Mulyani sudah ikhlas melepas janji kami dulu. Dia berhenti berharap dan memilih menikmati setiap detik bersamaku.

"Aku sadar, Dani. Hidup kita jauh berbeda. Aku menerima bahwa kamu bukan lagi Dani kecil. Kamu datang sebagai Danny Jean Wilson. Kamu pria sibuk. Terlalu sibuk untuk bisa memikirkan topik asmara. Aku tahu itu."

“Ayu, maafkan aku.”

“Untuk apa?”

“Kamu menunggu sendirian 24 tahun.”

“Dan kamu bukan anak delapan tahun. Maaf, aku semalam kekanakan.”

Suasana makan jadi lain. Bola matanya kemana-mana saat bibirnya mengunyah makanan. Iya, dia wanita dewasa walau tingkahnya kekanakan. Aku yakin semalaman dia pasti memikirkannya.

“Aku yang salah, Dani. Aku keras kepala. Aku punya banyak pilihan berbahagia. Tapi aku memilih menuntut komitmen dari anak delapan tahun. Aku tahu hidup kita sudah berbeda, Tuan Jean Wilson.”

Mulyani menghela panjang. Sejenak, dia penjamkan mata dan menggigit bibir bawahnya. Melepaskan sangat sulit. Tatapannya jadi lembut saat tangannya membersihkan sisa makanan di bibirku.

“Tapi kalau kamu punya hati ..." Dia menghela napasnya lagi. "Kalau kamu punya hati, jadilah anak delapan tahun itu. Jadilah Kusuma Wardani. Untuk seminggu saja, puaskan aku.  Wujudkan cita-cita kecil kita dulu. Kamu mau masih punya hati kan?"

Aku mengangguk pelan saat kalimatnya mulai menyakitkan.

"Iya, aku mau."

Mulyani diam sejenak. Bola matanya kemana-mana.

"Danny, waktu pertama kalinya kamu bilang sayang, aku tak pernah lupa. Aneh ya?" Dia melirik lagi ke arah lain. "Kamu cinta pertamaku."

"Kamu juga."

Matanya sontak melebar. Dia menatapku dengan rona berbinar-binar.

"Benarkah?"

"Yes, you're my first love. Kamu cinta pertama, Mulyani." Kusebut nama kecilnya.

Sebisa mungkin kuberi senyum walau itu sangat sulit. Sikap ikhlas Mulyani terasa menyiksa. Aku seakan diberi kesempatan untuk menebus kesalahan dengan harga yang paling murah. Waktuku sisa seminggu di Grajagan. Dan seminggu itu, aku harus buang Danny Jean Wilson, dan menjadi Kusuma Wardani, demi menuruti impian kami semasa kecil.

Impian untuk menikah versi anak delapan tahun.

“kamu bersedia jadi suamiku seminggu ini?”

“Iya, aku suamimu seminggu ini. Give me your account.”

“Rekening bank?”

“Ya.”

Kuisi 4000 dollar ke rekeningnya.

Kisaran 56 juta.

“Uang itu untuk apa?” Mulyani keberatan.  “Mahar? Kita kan hanya main rumah-rumahan?”

“Dan rumah ini all over the place. Kamu tahu kamar mandi? Beyond horrible. Minta lagi kalau kurang.”

Wajahnya makin ceria. Senyumnya berubah manis. Dia tengok rumahnya sendiri yang akan jadi rumahku juga.

“Kalau gitu tambah lagi 20 juta. Aku ada rencana merombaknya jadi minimalis Scandinavian. Biar kamu betah.”

Mulyani mengambil pulpen dan semacam buku besar. Dia tulis hitung-hitungan sambil bernyanyi seperti bocah. Terkadang menghubungi kenalannya di toko material. Kadang pula menghubungi jasa konstruksi untuk sekadar bertanya angka. Hitungannya detail. Mulyani nampak puas saat sodorkan biaya total renovasi rumah.

“Rp. 75.750.000? Tidak kurang?” Aku memastikan.

“Itu sudah dipotong beberapa perabotan loh, kan kemarin sudah pesan online?”

Tidak sungkan, tapi tahu diri. Kepribadiannya menarik. Jarang-jarang ada wanita seperti dia. Mulyani menghargai uang. Dia tahu uangnya dibelanjakan kemana saja, dan selama ini pun selalu mencatat pengeluarannya. Pola pikir orang kaya yang tak diajarkan di sekolah.

Cocok sebagai istri.

Dan istri bohongan itu mencium bibirku setelah mendapat uang mahar.

“Kamu ingat? Kita dulu ingin punya anak 100. Bikin satu yuk.”

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang