Seusainya dari gereja, perempuan itu masih memakai gaun putihnya. Ibuku sangat berbeda dibanding wanita sekitar kami. Rambutnya hitam alami. Kulitnya sedikit gelap, wajahnya sangat Melayu, tidak putih pucat seperti orang kebanyakan.
"Kamu bahagia, Renee?"
"Iya, Michael! Akhirnya kita menikah!"
Ayah tiriku menggendong ibu sambil tertawa. Kebahagiaan nampak jelas dari matanya. Begitu pula ibuku. Sekalipun aku merasa kebahagiaan itu hanya bohongan.
Aku bisa merasakannya.
Tapi tidak untuk ayah.
"Danny, kamu sudah 12 tahun. Jaga saudarimu baik-baik." Begitu tiba di rumah, ayah mencium kami bergantian.
Aku menoleh.
Catherine bertanya-tanya begitu mereka masuk kamar.
"Zanny, mereka kenapa?"
Aku menggeleng. Aku juga tak tahu aktivitas orang dewasa. Kuajak si imut itu ke kamar bawah, menemaninya bermain barbie. Catherine masih penasaran saat melihat ke tangga rumah.
"Zanny, menikah itu apa?"
Kepalaku menggeleng lagi. Aku semakin bingung. Padahal, orang dewasa harus menikah kalau ingin tinggal serumah. Tapi ayah dan ibu baru menikah setelah Catherine sebesar ini.
Entahlah, Orang dewasa membingungkan.
"Cathy, kata temanku, orang menikah itu naik dua gunung dan tiang listrik."
***
"Zanny, nanti main lagi."
"Iya, tidur dulu. Tidur yang nyenyak, okay? Biar cepat besar."
Catherine sudah mendengkur di gendonganku. Gadis itu mudah tidur kalau ditimang. Apalagi jika punggungnya ditepuk-tepuk. Aku menyayanginya. Gadis tiga tahun itu alasanku betah di Amerika setelah ibu membawaku secara paksa.
"Saudarimu sudah tidur?"
"Iya, ayah. Cathy capek."
Kuserahkan gadis itu ke gendongannya. Pria baik itu pun alasanku tidak mengeluh di negara ini. Padahal bukan ayah kandungku. Sifatnya berbanding terbalik dari ibu. Perempuan itu tidak pernah mengajakku bicara. Apalagi memberi hadiah seperti yang sering ayah lakukan.
"Cita-citamu jadi Power Ranger, bukan? Setelah ini ayah daftarkan ke gym bela diri. Mau tinju? Kickboxing? Atau hmmm ... Muay Thai? Tuan Roufus teman ayah sendiri."
"Benarkah?"
"Iya. Selama kamu mau berjanji menjaga Catherine. Setelah ini ayah sering keluar kota."
Aku mengangguk cepat. Tanpa diberi hadiahpun aku pasti menjaganya. Terutama dari ibu. Walau ibu nampak ramah kepada kami, tapi jika tak ada ayah, dia jadi jahat.
Seperti saat ini.
Ibu mengambil sapu setelah ayah keluar rumah.
"Jangan terlalu manja pada suamiku. Dia bukan ayahmu. Kamu disini hanya numpang. Mana tanganmu?"
Plak!
Dua tanganku terulur. Aku tak menangis saat ibu ayunkan sapu. Sejak aku kecil, dia suka memukulku tanpa alasan. Aku sudah terbiasa. Ibu bahkan sering menamparku kalau ayah perginya lama.
"Kalau saja kamu tak ikut ke Amerika, duit Michael hanya untukku. Dasar parasit!"
Aku tak berani bicara kalau ibu marah-marah. Apalagi sampai membantahnya. Ibuku bilang, aku akan masuk neraka kalau berani melawannya. Dia paling sering mengancamku dengan semua kalimat itu. Dan seperti biasa, saat ayah di antara kami, sekali lagi, ibu jadi malaikat.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...