"Ini Bapak Budi, Ini ibu Budi, ini tetangga Budi. Gimana? Aku bisa, kan?"
Tak terasa, sebulan lamanya mengajari Mulyani membaca. Hari ini cukup lancar. Dia mulai bisa membaca buku untuk kelas dua SD. Tak patah-patah seperti kemarin.
“Kerang Keriput, pantai, yuk!”
"Ngapain?"
Preeet!
"Kebelet berak. Ayo!"
Acara belajar kami sudahi saat pantatnya terkentut-kentut. Aku mengikutinya karena pantatku juga berkedut. Tak ada kakus di rumah Mulyani. Apalagi di rumahku. Hanya orang kaya yang memiliki kakus sendiri.
Terus, orang desa berak dimana?
Mereka berak di pantai.
“Mul, gak ada tempat lagi nih, semua banyak tahinya.”
"Iya nih! Ada Festival Orang Berak."
"Hiiii! Tahi benyek!" Aku histeris karena menginjak salah satunya. "Padahal Pak Kasun sudah membangun WC umum. Tapi malah dirusak sama warga. Bapak ABRI juga bilang gak boleh berak sembarangan."
Aku begidik melihat tahi berserakan dimana-mana.
Jorok sekali!
“Gimana nih, Mul? Aku sudah kebelet.”
“Tenang saja, aku punya tempat rahasia.”
Mulyani mengajakku ke bagian pantai yang sering digunakan anak-anak bermain bola. Agak jauh dari dermaga. Dia ajak pula menggali pasir di tempat itu, membuat lubang agak dalam.
“Kita berak di sini,” katanya.
“Jangan dong, nanti sore ada pertandingan.”
"Justru karena itu. Ayo! Kita buat jebakan!" Dia malah tertawa sambil mencret di atas lubang. “Kerang Keriput, giliranmu. Tumpuk tahinya yang banyak. Aku mau cebok.”
Seusai berak, Mulyani memintaku membantunya mencari ranting. Kami susun ranting-ranting itu di atas lubang berisi tahi. Setelah itu menutupinya dengan pasir agar lubangnya tak ketahuan. Tepat di depan goal keeper.
"Nanti sore kipernya si Parto, huahahaha!" gelaknya berkacak pinggang.
Inilah yang membuat Mulyani dijuluki anak nakal. Hobinya aneh-aneh. Kadang mengajakku balapan kambing, kadang mencuri becak, kadang pula memasang jebakan seperti sekarang. Pak Ali dan Mbak Prah berkali-kali minta maaf ke tetangga. Tapi Mulyani masih juga cari perkara. Aku bahkan ikut nakal setelah lama bersamanya.
“Ayo kabur!”
"Hahahaha!"
Kami terbahak-bahak seusainya membuat jebakan. Tawa itu semakin keras saat siang mulai meredup. Sore itu ada pertandingan antar dusun. Seperti yang kami duga, kipernya jatuh terguling dengan kaki belepotan tahi.
“Asu! Siapa berak disini!”
Piala antar dusun gatal total.
***
"Ahahahaha! Ayo kasih spidol."
"Jangan, nanti Mbak Prah marah."
"Gak apa-apa. Aku jadi power ranger."
Aku sudah lupa seberapa sering kami bersama. Aku juga lupa terakhir kalinya bisa tertawa. Gara-gara dia, aku jarang menangis. Dulu sering menangis setiap kali ingat Nenek. Sekarang tidak lagi. Aku tak sedih lagi karena Mulyani sering mengajakku cari perkara. Korbannya banyak. Paling sering adalah Mbak Prah, kakak Mulyani satu-satunya.
“Kalian anak-anak nakaaal! BH-ku jadi rusak! Tanggung jawab!”
"Ayo lari!"
"Hahahaha!"
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...