Sudah Tak Tahan

558 75 1
                                    

“Congratulations, Mister Wilson. You deserve it.” CEO menutup telpon setelah memberi kabar aneh.

Mataku berkedip-kedip. Tanganku gemetaran setelah mendengar keputusan pemegang saham. Padahal, aku bertanya kenapa belum ada agenda kerja. Seharusnya seminggu lalu aku sudah di Jakarta. Masa cutiku lewat seminggu. Tapi pemegang saham malah memberi jabatan baru.

Are you serius?”

“Yes. You've appointed.” Thomas memastikannya.

Dia bilang Chief Operating Officer memilih pensiun. Sebagai wakil, aku ditetapkan menggantikannya. Kabar itu terlalu mendadak untuk bisa aku terima. Kuhubungi seluruh orang terdekatku, dan mereka menyambut baik kabar itu. Terutama Catherine. Akses perbankanku di Amerika dia buka lagi. Mood-nya juga berubah gara-gara keakrabannya dengan Denise. Banyak yang berubah sejak aku di Indonesia. Apalagi Winda. Dia teriak-teriak saat aku menelponnya.

“I made it, Danny! I love you so much! Muaacchh! Muaach!” Dia juga punya kabar gembira.

Wanita itu masih di Jakarta demi mengurus wawancara di BCW Indonesia. Seperti yang kuduga, dia diterima. Rekomendasiku melicinkan jalan masuknya. Dia bahkan tak sempat pulang demi jalani pelatihan awal. Wanita itu profesional. Perusahaanku tak sebodoh itu memandang SDM hanya karena penampilan.

“Ngomong-ngomong, Ayu sudah kamu apakan dua minggu ini?”

“Hei, aku pria baik!” balasku semakin lancar berbahasa.

Winda terkekeh. Mood-nya melambung tinggi setelah jadi eksekutif.

“Minggu depan baru pulang. Maaf molor lagi. Kamu kok belum ke Jakarta?”

Aku menggeleng. Jadwalku agak berubah karena pengangkatan sebagai COO. Hitung-hitung tambahan cuti. Setelah itu akan banyak temu janji. Terutama dengan sosok bernama Respati, CEO Silver Brigde yang proyeknya tidak terhitung di Indonesia. Aku harus bisa mendekatinya.

“Dani, kamu harus fasih Bahasa Indonesia. Masih belajar, bukan?”

Sudah pasti masih belajar. Toh, tugas itu juga tugas dari CEO. Setiap hari selalu kuhafal ratusan kata. Orang di sekitarku pun ikut membantu mematangkannya. Terutama Mulyani. Aku makin lancar karena kami sering ngobrol tiap malam.

“Tenang saja, Ayu guru bahasa inggris. Kamu pasti lancar dilatih dia.” Winda kedipkan satu matanya di video call. “Adikku makin ceria belakangan ini. Auranya jadi lain setelah kalian bertemu lagi”

“Masa?”

Wanita itu mengangguk cepat. Dia masih bilang bahwa Mulyani wanita tulen 20 tahun ini. Bekas tomboy-nya tidak ada sedikitpun. Tapi perubahan itu seakan goyah setelah dia bersamaku.

Iya, aku sadar. Aku pun mengalami hal serupa. Kepribadianku seakan-akan juga berubah. Segala trauma yang ibu tanam seolah hanyut entah kemana. Aku lebih polos memandang dunia. Melihatnya dari sudut pandang yang menyenangkan. Sejak kami bertemu lagi, pikiranku lebih rileks.

“Ck! Aku pikir hubungan kalian biasa-biasa setelah bertemu. Adikku berubah total gara-gara kamu. Serius tidak kamu apa-apakan?”

“Oh, come on!”

Winda terbahak-bahak. Dia kedipkan satu matanya setiap kali hendak menggoda.

“Kamu ingat masa kecilmu dulu? Soal cara membuat anak?”

"What?"

Dia gigit jarinya sendiri dan berkata, "nanti aku ajari cara bikin anak. Mau coba gaya Amerika?"

Kuakhiri pembicaraan itu sebelum Winda semakin absurd.

***

Bel sekolah mulai berdentang. Hari inipun aku menjemput sesosok guru berbadan imut. Tentunya memakai sarung dan kopiah. Aku berpenampilan wajar agar tidak dilirik-lirik.

“Eh, itu ya yang katanya pacarnya Bu Ayu? Ya ampun gantengnya.”

“Iya, namanya Mas Winston atau siapalah.”

Seperti biasa, ibu-ibu melirikku. Dandanan mereka semakin hari semakin rapi. Make-up mereka semakin tebal. Terutama ibu-ibu muda yang usianya baru menginjak 20-an. Aku tak nyaman mereka jadikan pusat perhatian.

“Memangnya mereka pacaran? Masa sih?”

“Iya, Bu. Setiap hari Bu Ayu dijemput sama Mas itu.”

“Cih! Tua-tua kok masih pacaran? Aku saja lulus SMP langsung kawin.”

Aku semakin risih. Inilah budaya yang tak kusukai di Indonesia. Orang-orangnya gemar bergunjing. Alhasil, aku menunggu di gerbang tanpa berminat melihat mereka.

“Over here!” Kulambaikan tangan ke seseorang yang baru keluar dari sekolah.

Wajah Mulyani langsung ceria ketika kami bertemu mata. Tapi tidak dengan Denise. Dia makin kesal belakangan ini. Seringkali buang muka dari bibinya.

“Buk Lik jadi pelakor. Daddy-ku digodain.”

“Hus!”

Setelah dua minggu antar jemput, Mulyani makin ekspresif. Dia tak malu lagi bicara denganku. Tapi masih menunduk saat kami sedang di luar. Nampaknya, dia memang dikenal sebagai seorang wanita tulen.

“Mas, kamu terlihat senang hari ini, ada yang baru?” ujarnya lembut.

“I got promoted.”

“Benarkah?” Dia bahkan tak minder lagi dengan pencapaianku selama ini. Ekspresinya nampak natural.

“Tumben Bu Ayu langsung pulang? Biasanya masih di kantor sehabis mengajar.” Sesorang datang menegur. Sosok guru tua yang wajahnya tidak asing.

“Ada tamu Pak,” balas Mulyani sambil melirik. Wajahnya tersipu tanpa berani melihat lawan bicaranya

“Tamu apa tamu nih? Kok wajahnya semrigah banget?”

“Tamu, Pak Gatot. Datang dari jauh.”

Bapak-bapak itu tersenyum canggung. Nampaknya, hubunganku dengan Mulyani jadi berita di kantor guru. Entah berita baik atau buruk. Aku masih tak nyaman karena orang masih menggunjing di kejauhan.

“Mas, ayo pulang,” ajaknya agak tergesa.

***

Mulyani memakai daster saat di rumah. Sedangkan aku memakai sarung dan kaos oblong seperti biasa. Tapi bukan lagi kaos kampanye. Aku bukan iklan untuk orang yang tak kukenal.

“Dani, bantu pasang LPG dong. Sudah habis nih.”

“Oke!”

Dengan serius kupasang regulator ke tabung LPG sebesar melon. Sebuah kegiatan yang mustahil kulakukan di Amerika. Disana, semuanya tinggal bayar. Kondominiumku pun bersebelahan dengan restoran. Ada pula kompor listrik yang tak pernah Megan gunakan. Kehidupan kami sungguh lain.

“Dani, kamu gak kepanasan pakai kaos?”

Aku menggeleng pelan. Sejak kejadian minggu kemarin, aku tak berani sembarangan telanjang dada. Mandipun langsung pakai baju. Mulyani belum sadar bahwa aku agak menghindar.

“Ayu, besok teman aku ke ATM. Uang habis.”

“Temani aku ke ATM.”

“Iya, temani aku ke ATM. Kita jalan-jalan.”

Mulyani nampak cemberut. “Iya, besok kita jalan-jalan lagi,” balasnya, kembali sibuk menggoreng ikan. “Kamu kok sering ngajak aku jalan-jalan sih? Gak betah di rumah ya?”

Aku tak mungkin bilang mulai tak nyaman berduaan. Wanita itu mulai berani. Apalagi malam-malam. Dasternya semakin pendek. Sifat feminim yang dia tanam mulai hancur karenaku. Berganti sifat cuek seperti wataknya 24 tahun silam.

Aku merasa, dia sudah tak tahan lama-lama jadi perawan.

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang