Selama dua hari, kami mengunjungi berbagai lokasi pelayanan publik. Mulai dari Bank, Kantor Imigrasi, Travel Agent, Money Changer, sampai butik-butik untuk membeli pakaian branded. Pemandu itu jelas kubelikan. Aku agak memaksa karena dia selalu segan. Sebagian kubelikan diam-diam. Dua hari setelahnya pun kami mengunjungi lokasi wisata di penjuru Pulau Dewata. Lebih mirip kencan di mata mereka yang melihatnya.
“Tuan Wilson, ada yang anda pikirkan?” Dia menegur saat mataku sedang terpaku. Masih memanggilku “Mister” walau kami sedang berkencan.
Aku tersenyum samar meliriknya. Kupandang penampilannya yang sore ini sangat berbeda. Baju off shoulder, cardigan, celana jeans selutut, juga rumbai anting saat rambutnya dikuncir kuda.
Cantik sekali.
Tapi aku jaga jarak sebagai klien.
“Tidak apa-apa. Hanya berusaha menikmati liburan.”
Wanita itu tertawa kecil. Sedikit iba melihat mataku yang agak berat. Maklum lah, masih jetlag.
“Tuan Wilson, saya merasa anda ini tipe orang yang serius di pekerjaan.”
“Begitukah? Bukannya kita sama?”
Wanita itu tersenyum geli karena persamaan di antara kami. Sesekali dia tunjukan giginya yang agak gisul, juga bekas gigi kelinci yang menambah kesan manis.
“Melihat wajah serius anda, sepertinya, anda tak sedang liburan, Tuan Wilson. Ada tujuan khusus ke Grajagan?”
“Bisnis.”
Dahinya sontak terkernyit. Setelah itu tersenyum lagi karena sebuah jawaban singkat.
“Apapun yang ingin anda tahu tentang Indonesia, saya siap membantu anda."
“Iya, karena itulah anda dibayar.”
Aku makin terkesan dengan sikapnya. Skill komunikasinya bagus untuk ukuran wanita kaku. Sangat cocok di perusahaanku.
“Tuan, saya merasa ada sesuatu di Grajagan yang sangat penting untuk anda. kenapa belum berangkat?”
Aku terdiam sesaat. Ada rasa gamang menghantuiku. Sampai detik ini belum berani ke Grajagan karena kalut dan rasa cemas. Tak ada psikiater menemaniku. Obat dari Megan pun tidaklah banyak. Aku takut akan mengalami perasaan absurd begitu tiba di Grajagan.
“Tuan, kenapa anda cemas? Ada masalah? Saya siap membantu anda.”
“Saya butuh teman bicara.”
“Teman bicara? Bukannya empat hari ini kita sering bicara?”
Mataku melirik pelan. Kutatap matanya tajam dan bicara selugas mungkin.
“Untuk malam ini, menginaplah bersamaku.”
Dia jelas kaget. Menoleh kesana kemari tanpa bisa menjawabanya.
“Saya butuh teman bicara. Bukan teman tidur.”
“Tuan yakin?”
“Anda bersedia? Saya beri bayaran lebih.”
Sejenak, dia meragu. Setelah itu mengangguk pelan sambil melirik ke arah lain.
“Baiklah, Tuan Wilson. Saya bersedia menemani anda malam ini.”
***
Efek jetlag pada akhirnya mulai mereda. Tubuhku sudah merasa sore ini tetaplah sore. Bukan pagi lagi seperti di New York. Seperti biasa, di jam-jam itu kubuka laptop berbekal Wifi dari hotel. Menghubungi Megan dengan aplikasi berbasis web. Internetnya cukup kencang. Tanpa kuduga, sekretarisku menerimanya dengan badan masih telanjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...