“Mas kok bawa tas?” Sesampainya di sekolah, Mulyani menatap heran.
“Diusir Bapak. Stay di rumahmu.”
"Benarkah? Horeee!"
"Tapi kamu di rumah sana. Kita tak boleh stay together."
Wajahnya langsung kecewa. Dia raih ponsel dan menghubungi ayah kami. Mulyani terdengar berdebat di tempat lain. Wanita itu menutup telpon sambil memijit kening sendiri.
“Tapi rumahku jelek, Mas.”
“I need a quiet place. Tempat sepi kerja.”
Wanita itu senyum-senyum lagi. Kengangguk pelan dan mengikutiku menuju motor.
“Ya sudah, deh. Ayo pulang, Mas. Nanti biar Farhan yang jemput Denise.”
Dari luar nampak biasa. Tapi di dalam hati, aku lah yang gelisah. Perangai Mulyani jauh berbeda setiap kami sedang di luar. Malu-malu kentut. Dan ekspresi itu sangat natural. Gayanya selalu feminim. Siapapun tak akan menyangka dia hampir memperkosaku.
“Maafkan aku, Mas. Aku janji gak ulangi lagi. Tolong jangan diungkit ya?”
“Iya. Tidak apa-apa.”
“Sini, tasnya biar kubawa.” Dia terlihat senang. Ekspresinya seperti anak kecil yang diperbolehkan bolos sekolah.
Uhhh! Kentara sekali dia masih penasaran.
Padahal, kejadian kemarin tidak kami perpanjang lagi. Kami sadar ada jarak yang tak boleh kami lompati. Ini Indonesia. Kalaupun Amerika, aku tak semudah itu meniduri perempuan. Apalagi perawan sepertinya. Aku tak mau skandal kami akan menjadi sebuah drama.
Big—Hell—No!
“Itu rumahku. Ayo masuk.”
Aku agak terkejut melihat rumahnya. Ternyata lebih sederhana dari rumah masa kecil kami. Bisa dibilang sempit. Tak ada TV, AC, apalagi mesin cuci. Ruang tamunya saja hanya berhias perabot kayu. Semuanya sederhana. Mengherankan di mataku.
“Maaf, Mas. Rumahku jelek, kan?”
“Beli apapun yang kamu mau. Jangan menolak.”
Seperti kemarin, Mulyani tak sungkan-sungkan berbelanja dari ponselku. Mungkin sudah paham orang barat tak mengenal kata ‘sungkan’. Iya, aku paling tak suka dengan orang yang inginnya A, tapi ngomongnya B. Dia bebas belanja apapun. Tapi kurebut ponselku lagi saat dia pesan lingerie.
“Jangan aneh-aneh!”
"Aku mau coba."
"Oh God! You're so dangerous!"
Mulyani nyengir. Padahal dia sendiri yang berkata jaga sikap di rumahnya. Tetangganya lebih berisik dari reporter infotainment. Pintunya saja harus dibuka agar mereka tidak bergosip.
“Mas, kopi atau teh?” Mulyani masih juga memanggil ‘Mas’ walau dia lebih tua.
“Teh please, tidak gula.”
Aku duduk gelisah di kursi keras. Perasaanku semakin trenyuh dengan hidup wanita itu. Hingga tanpa sadar, pantatku terangkat lagi saat melihat hiasan dinding. Terutama foto-fotonya sewaktu muda. Sebagian besar memegang piagam. Wanita itu berprestasi. Ada pula foto-fotonya saat masih memakai toga.
Ternyata benar. Mulyani tumbuh sebagai seorang gadis pintar. Semua fotonya berdua saja bersama Pak Ali. Sebagian lagi bersama Winda. Di beberapa tempat juga ada foto-fotonya menggendong bayi, yang ternyata fotonya Denise.
Kok bayinya Denise ada di dia?
Benakku bertanya-tanya saat mengamati deretan foto di tembok itu. Terutama foto Mulyani yang nampak lelah menimang bayi. Aku tak ingin curiga. Terlebih, terlalu banyak plot twist sejak aku bertemu Winda di bandara. Kubuang jauh kecurigaan itu saat melihat benda-benda di etalase.
“Huwaaaa! Jangan lihat itu! Jangan lihat!” Tanpa kuduga, Mulyani melarangnya.
***
Baru sempat menyuguhkan teh, Mulyani histeris. Dia beranjak demi tutupi benda-benda di lemari kaca. Gayanya seperti kiper adu penalty. Kuangkat dua ketiaknya dan memindahkannya seperti manekin.
“Jangan lihat! Please jangan lihat!”
Bibirku tersenyum geli. Lemari itu seperti museum. Semua artefaknya sangat terawat. Ada foto kami sewaktu kecil, ada cincin pemberianku, ada pula bando kelinci berwarna merah. Sampai detik ini dia masih menyimpannya. Bahkan buku Iqro-ku juga ada di lemari itu.
“For real?”
“Jangan dibahas! Iya! Aku menyimpannya! Memangnya kenapa?” Mulyani menutup wajah saat aku menoleh lagi.
Napasku terhela panjang. Sefeminim apapun wanita itu, dia tetaplah keras kepala seperti dirinya di masa lalu. Mulyani paling susah dinasihati. Termasuk nasihat logis bahwa aku tak mungkin datang. Aku merasa, karena akulah dia lajang sampai sekarang.
“Ayu, kamu rindu aku?”
Mulyani alihkan muka saat kutatap bola matanya. Urusan kami belum beres sampai sekarang. Aku masih takut andai dia masih menuntut. Dilihat darimanapun hubungan kami tidak logis. Dan Mulyani menyadari bahwa janji kami adalah janji dari mulut anak kecil.
“Iya, aku merindukanmu.” Dia membalasnya tanpa mau menatapku. Mulyani mulai sesegukan. Tapi batal menangis saat kutoleh sekitaran. “Jangan coba-coba, Dani. Aku marah betulan nih.”
Tak kugubris peringatannya. Aku yakin, pasti banyak artefak lain di kamarnya, sebuah kamar tanpa pintu. Mulyani gelagapan saat kamarnya kulirik-kulirik.
“Don't even think!” ancamnya.
“Aku mahu piss. Kamar mandi mana?”
Mulyani mendahuluiku, bergaya lagi seperti kiper. Dia tutupi lorong satu-satunya yang menghubungkan ruang tamu, kamar mandi dan kamarnya sendiri. Dia tahu aku berbohong. Dia tahu aku mau menjelajah. Kuangkat lagi badan kecilnya dan menentengnya seperti ayam.
“Tolong jangan lihat, please.” Dia meronta-ronta di ketiakku.
Kelambupun kusibak. Aku makin trenyuh saat melihat kamar sederhana dengan kasur tanpa ranjang. Seperti dugaan, barang-barangku memang ada di kamar itu. Sepatuku dia taruh di lemari, buku-buku SD pun tertata rapi di atas meja. Perempuan ini sudah tak waras. Bukan hanya aku, Mulyani juga butuh psikiater.
“Aku tidur mana?”
Mulyani tunjuk kamar satunya. Tentunya masih kutenteng karena badannya sangat ringan. Kumasuki kamar itu tanpa mau menurunkannya.
Duk!
“Aww!” Kepalanya terbentur kusen.
“Oops! My bad.”
Kamar satunya juga sederhana. Bahkan lebih sempit dari kamarnya sendiri. Kasurnya juga tak punya ranjang. Bahkan kasur itu bukan kasur, melainkan matras olah raga.
Brak!
“Aww!” Kali ini, tanpa sengaja kujatuhkan badan Mulyani.
Tiba-tiba, badanku gemetaran. Tanpa sadar kuraba dahi setelah lama di kamar itu. Secara harfiah kamar itu memang kamarku. Di tempat itulah dahiku bocor karena gelas yang ibu lempar. Aku bisa mengingatnya. Ternyata, rumah inilah artefak terbesar yang dia simpan demi aku.
“Iya Dani, ini rumahmu dulu. Aku membelinya pakai tabunganku untuk jadi kepala desa. Aku selalu berharap kamu kembali di sini. Kembali bersamaku.”
Mulyani menghampiriku dan memberi sebuah pelukan. Perasaanku langsung tenang. Dia raba kedua pipiku dan memberi tatapan lembut.
“Dan akhirnya kamu pulang.”
Aku sedang rapuh, sekarang. Kamar itu sangat traumatis. Badanku tak berdaya saat Mulyani mulai berjinjit, mendekatkan bibirnya ke bibirku. Semua telah terjadi. Lagi-lagi, aku berciuman dengan bibir tak pengalaman.
“Jangan curi kesempatan!”
“Hahahaha!”
Ck! Perempuan ini masih bandel seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...