Suara Saklar

487 57 1
                                    

"Gara-gara kamu dadaku datar! Kamu lupa?"

"Sorry!"

Mulyani mencekikku gara-gara sebuah komentar. Padahal aku jujur. Dia tak terima dadanya yang datar itu kusamakan dengan keju. Wataknya seperti Winda walau ukurannya jauh berbeda.

"Kamu masih sama seperti dulu! Kalau ngomong gak pakai mikir! Ngeselin!"

"Yes! Sorry!"

"Kamu gak suka, kan? Bilang saja!"

"I love it! Flat is justice! Forgive me!"

Usai mencekikku, wanita itu mengubah posisinya lagi. Kali ini pindah di lantai menemaniku, selojor berdua bersandarkan dudukan sofa. Dia kembalikan ponselku dan mengipasi badannya sendiri.

"Beli kipas yang ini saja. Mumpung promo."

"Beli apapun untuk rumah ini."

Mulyani menoleh sekilas.

Tertawa geli meresponku.

"Ini kan rumah Mbak Prah? Bukan Rumahku? Kamu lupa?"

Oh iya, aku baru ingat. Mulyani tinggal di rumah lain. Tapi aku tak pernah tahu di manakah rumah itu. Dia tak pernah cerita. Wanita itupun tidak pernah mengunjunginya.

Lama-lama jadi penasaran.

Dia tinggal dimana?

Dan sama siapa?

"Farhan masih disana." Dia sebut anak sulung Winda. "Kamu penasaran sama rumahku? Mau kesana?"

"Iya."

Mulyani mengubah posisinya lagi. Wanita itu tak bisa diam seperti dulu. Kali ini telentang di lantai dan menjadikan pahaku bantal. Menyodorkan buku agar aku mengipasinya.

"Tetanggaku di sana agak comel. Aku takut digosipin, hahahaha."

"Kamu gak betah?" balasku, mulai menggunakan kata tak baku.

Mulyani mengangguk pelan. Dia menatapku agak lama dengan entahlah apa benaknya. Tiba-tiba, napasnya agak terburu saat kami bertemu mata.

Ekspresinya sangat kentara.

"Dani, di sana gak bebas. Lebih aman di sini ... ehemm."

"What?"

"Nanti saja kalau kita sudah ... ehmm ...."

"Sudah apa?"

"Hmmm ... anu .... sudahlah," balasnya buang muka.

***

Keesokan harinya, suasana makin panas. Farhan dan Denise meninggalku lagi berdua saja dengan Mulyani, seorang bibi yang sikapnya makin lama makin berbahaya. Aku makin tak nyaman bersamanya. Mulyani makin jadi dirinya sendiri. Sekarang saja sedang ngupil.

"Dani, kamu ganteng sekali. Aku pikir kamu sekarang Om-om gendut. Wajahmu ganteng sejak dulu."

Aku mau bilang bahwa kami sepemikiran. Sebelum bertemu, aku sempat bayangkan sosok Mulyani ibu-ibu paruh baya. Bukan sosok wanita berbadan imut. Posturnya saja lebih mirip remaja tanggung daripada orang berumur.

"Kamu juga cantik."

"Cantikan mana sama Mbak Prah?"

Aku tak sanggup menjawab. Keduanya hampir mirip. Namanya juga adik dan kakak. Mereka sama-sama mempesona dari sudut pandang berbeda. Jika Winda gelap eksotis, kulit Mulyani putih bersih. Jika kakaknya berbadan montok, adiknya agak kurus. Apalagi ukuran BH. Membandingkan dada mereka bisa mengundang air mata.

"Ngapain lihat dadaku seperti itu? Iya, aku tahu dadaku rata."

"Gross! Stop doing that!" Aku histeris saat Mulyani menempelkan upilnya ke hidungku.

"Jangan ngomong Bahasa Inggris. Atau upil ini masuk mulutmu," ujarnya semakin galak.

Mulyani masih berguling di atas lantai. Cuacanya memang panas. Dia tarik-tarik singletnya lagi sampai BH-nya kelihatan. Ukuran 32 A. Itupun masih longgar.

"Apa di New York ada salju?"

"Iya, salju tebal. Sekarang winter."

Bibirnya mulai menyudut. Senyumnya makin tak asing. Sebuah senyum tengil dari Mulyani sembilan tahun.

"Kalau memang panas, kenapa pakai kaos?"

"Tidak apa-apa."

"Buka saja, gak usah malu-malu. Daripada tersiksa."

Iya, aku memang tersiksa. Kelembaban di Grajagan seperti racun untuk kulitku. Terlalu gerah. Kaosku pun masih basah kuyup. Meski sayangnya, reaksi Mulyani lebih mengerikan dari sekadar mandi keringat.

Napasnya makin tak beraturan. Saat aku meliriknya, wanita itu sedang melihat otot dadaku. Memindainya tidak sabaran.

"Dani, lepas saja kalau kepanasan," katanya.

"It's okay. I can deal with it."

Wanita itu makin cemberut. Dia gembungkan pipi seperti Catherine saat ngambek. Mulutnya ngomel-ngomel saat jarinya menunjuk lantai.

"Mbak Prah bilang kamu biasa telanjang dada di depannya. Kok sama aku jaim? Buka saja. Ayo, buka saja kaosnya. Lantainya sudah basah nih. Keringatmu banyak. Duh, nanti aku ngepel lagi deh."

Dengan terpaksa kaos oblong pun mulai kubuka. Membukanya pelan-pelan, diikuti mata Mulyani yang melihatnya tanpa berkedip. Dadanya kembang kempis. Napasnya agak terburu. Cepat-cepat dia raih ujung kaosku dan melemparnya begitu saja di atas sofa.

"Dani, kamu seksi banget."

"Wow wow wow! Hold on, Lady!" Aku panik saat dia mulai meraba.

Okay, aku mengerti sekarang. Semuanya masuk akal. Mulyani dari kemarin sudah gemas. Dan semuanya gara-gara aku. Dia sering kurayu dan kugoda. Leluconku pun sering nyerempet ke lelucon berbau dewasa.

Hasilnya?

Mulyani terpancing sungguhan. Aku makin sadar wanita itu tak pengalaman. Dia pasti penasaran. Mulyani pasti kesal karena aku mulai menghindar.

"Kamu gak bisa lari lagi, Kerang Keriput Sialan."

Aku juga mau, kalau boleh jujur. Mulyani cantik. Dan aku pria normal. Tapi aku sadar ini bukan Amerika. Aku takut kalau sampai dikawin paksa. Apalagi sampai diarak keliling kampung. Agenda kerjaku bisa berantakan hanya karena masalah konyol. L

"Don't even think!" tegurku panik saat Mulyani seenaknya minta dipangku. "Ayu, jangan—

"Diem!"

"Oh, sorry."

Awalnya, aku hanya pasrah. Tapi lama-lama jadi tergoda saat Mulyani makin agresif. Tanganku bergerak sendiri saat dia mendudukiku saling menghadap. Tanpa sadar, kuraba punggung kecilnya dan berhenti di kait BH.

"Kenapa berhenti?"

"Sudah gelap. Mahu hidup lampu."

"Jangan, nanti ada orang lihat."

"Kamu sudah gila?"

Mulyani tetap bergeming. Dia justru mendorongku agar duduk agak merebah. Setelah itu mendudukiku lagi seperti tadi dan memaksaku bersikap pasif. Aku tak bisa melawan saat Mulyani coba mencium.

"Aku penasaran rasanya ciuman."

Pada akhirnya, aku berciuman dengan bibir tak pengalaman. Mulyani memang agresif. Tapi tidak tahu harus bagaimana setelah itu. Gigi kami sering bertabrakan. Momentum kami rusak karena dia terlalu amatir. Aku terpaksa mengajarinya tutorial untuk pemula. Kubuka lagi pengait BH dan meraba punggung rampingnya.

Sampai tiba-tiba ...

"Prah, kok rumahnya gelap?"

"Mungkin sedang keluar, Pak."

Aku gelagapan saat pintu mulai terbuka. Mulyani masih keenakan menciumku. Suasana gelap total. Dia baru sadar saat seseorang tiba-tiba menghidupkan saklar.

"Nduk, kok lampunya—

Brak!

Pria itu langsung pingsan.

24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang