Keesokan harinya, setelah Winda pergi, aku seperti orang bodoh. Aku tak tahu harus bagaimana tanpa dirinya. Hilang arah karena bergantung. Seperti sikapku pada Megan saat masih di Amerika. Aku terombang-ambing tanpa bantuan obat penenang.
Ternyata benar.
Aku hanya pria rapuh.
"Myandwai dai laiat, bewbehaiyei." Kubaca tulisan di tepi pantai saking kalutnya.
Syukurlah pemandangannya menghiburku. Ada bungkus deterjen di buih ombak, ada asap hitam perahu nelayan, kios kios kumuh, besi pagar berkarat, juga botol plastik di sekitarku. Indah sekali. Indonesia benar-benar indah. Orang-orangnya buang sampah sembarangan. Pantas saja negara ini kurang diminati tamu asing.
Cih! Kenapa aku pikirkan itu?
Pikiranku kembali kalut. Tapi sudah tak mau berlari lagi. Lebih baik ke rencana awal. Mencari tahu ada apa antara aku dengan Mulyani sampai mempengaruhi kehidupanku masa dewasa. Setidaknya bertemu dia. Menyelesaikan masalah, setelah itu hidup tenang di Amerika.
Mungkin menikah dengan Megan. Bisa juga dengan Winda. Atau menikahi keduanya kalau mau main bertiga.
Hahahaha!
Aku sudah gila.
***
"How much for a week?" tanyaku pada orang lokal yang kebetulan berbahasa Inggris.
Pemandu itu berpikir sejenak. Dia toleh pemilik motor yang saat ini mau kusewa.
"Agus, sewa seminggu berapa?"
"Dua ratus ribu saja, To."
Pemandu itu menolehku. "Five hundred thousand rupiah, Sir," jawabnya sambil menunjukan lima jari.
"Are you kidding me?"
"Yes Sir."
Kukeluarkan lima lembar pecahan seratus ribuan. Sesuai harga yang dia sebut. Aku mulai curiga saat mereka bermain mata.
"Parto, korupsimu kebanyakan!"
"Kamu diam saja. Uangnya banyak."
Harga itu hampir setara sewa skuter di Thailand. Nilainya 150 - 250 Bath sehari tanpa SIM. Itupun di daerah Phuket yang cukup ramai. Atau Chiang Mai. Winda juga pernah bilang sewa motor di Bali hanya lima puluh ribu seharinya. Bisa ditawar lima ratus ribu selama sebulan.
Orang ini, si keparat ini, dia sewakan skuter jelek lima ratus ribu untuk seminggu?
Terserahlah. Aku butuh motor sekarang. Hari ini ada agenda yang tak mungkin kulakukan bersama Winda. Rencana kecilku menjelajahi lokasi-lokasi yang belum pernah kami datangi. Terutama gang-gang tertentu yang Winda jauhkan dariku.
Iya, wanita itu belum tahu bahwa aku masih curiga. Dia terkesan menghindari berbagai lokasi, mencegahku mendatanginya, dan memberiku banyak alasan agar aku diam di tempat. Entah karena apa. Motor matik kupacu pelan karena rasa penasaran.
"Hello, apa kabal?" kusapa beberapa orang dengan Bahasa Indonesia. Terdengar lucu. Lidahku Made in America.
Terkadang aku berhenti saat menemui orang berumur. Kutunjukan ID ibuku dan bertanya sejelas mungkin. Bahasa adalah kendala. Mereka tak paham pertanyaanku. Pemandu itupun tak bisa kubawa karena tahu pria itu hanya benalu.
"Do you know this woman?" Aku bertanya ke gerombolan Ibu-ibu. Seperti biasa, mereka membalasku menggunakan bahasa Jawa.
"Ngomong opo toh wong ganteng iki?"
KAMU SEDANG MEMBACA
24
RomanceDanny Jean Wilson, diaspora yang tumbuh besar di Kota New York, kembali ke Indonesia karena dorongan perasaan. Segalanya terasa aneh. Seakan-akan ada yang memanggilnya untuk kembali Grajagan, Desa kecil yang 24 tahun ini dia tinggalkan. Ada apa di s...