1. Ragu

362 47 51
                                    

Koper hitam milik gadis berhazel cokelat tua itu terkunci rapat. Ia duduk di tepi ranjang seraya menyeka buliran bening dari netranya. Tampak sosok wanita paruh baya masuk membuatnya menoleh dan tersenyum tipis.

"Udah dimasukin semua, Kak?" tanya wanita itu seraya berjalan dan duduk di samping putrinya.

"Udah, Ma!" Wulandari namanya, si cantik yang mandiri ingin merantau ke kota seberang.

"Yakin mau ke Jogja? kamu kuliah di sana, aja. Gimana?" tawar Astuty yang notabenenya adalah ibu dari gadis itu. 

"Ma! Kita udah bicarain ini dari setahun yang lalu, loh!" Wulan mengingatkan.  

"Ya, mungkin kamu berubah pikiran. Gimana masa depan kamu nantinya?" tanya Astuty selayaknya Ibu lain yang mengawathirnya anaknya.  

"Wulan pasti bisa kok ma! Bukan gelar yang menentukan keberhasilan tapi tekad." Ini mungkin kesepuluh kalinya dia mengatakan hal sama selama setahun terakhir. Wulan benar-benar tidak minat untuk kuliah apapun. Ia hanya ingin mencari pengalaman kerja untuk mendirikan sebuah lapangan kerja nantinya.

"Mau sampai kapan kamu bicara terus seperti itu?" Suara berat itu terlihat cemas dengan anaknya. 

"Mama harus percaya, karena yang Wulan butuh cuma kepercayaan Mama." Tangan Wulan terangkat dan menangkup pipi ibunya.

"Mama jauh-jauh hari nabung untuk biaya pendidikan kamu dan Ahmad. Kalau nanti kamu butuh, kamu bisa datang ke Mama, ya!" Alis Astuty mendadak turun, mengingat keberangkatan Wulan setengah jam lagi. "Jaga diri kamu baik-baik disana, ingat kamu perempuan!" lanjutnya. 

Wulan mengangguk, ia tersenyum dan mencium pipi Mama lembut. "Iya ma, pasti." Tangan yang semula berada di pipi Astuty, kini beralih menggenggam koper dan tas ransel berwarna pink.

Wulan dan ibu keluar dari kamar diikuti Ahmad yang sedari tadi memandang mereka dari ambang pintu. 

🦋

Mereka sampai di stasiun tepat waktu. Mendadak Jakarta bisa diajak kerja sama hari ini. Yang biasanya butuh waktu berjam-jam untuk sampai ke sebuah tempat, tiba-tiba Wulan hanya butuh beberapa menit sampai di stasiun.

Wulan menatap adiknya tajam, seolah di saat seperti ini pun tidak ada kata damai di antara mereka. "Gue titip, Mama. Dijagain! Awas lo kalau masih bolos sekolah!" ancam Wulan seraya menunjuk matanya lalu mata adiknya dengan dua jari.

Laki-laki dengan nama lengkap Ahmad putra itu berdiri disamping Wulan. Ia sedikit menunduk sambil berbisik, "Lo juga, Kak. Nggak usah kuliah. Lo cari Om-om, aja, di sana." Ahmad langsung berlari dan berlindung di balik Mama sebelum sempat Wulan melayangkan tangannya.  

🦋 

Wulan duduk di bangku dekat jendela. Melambai kecil pada Mama yang tersenyum di luar sana. Manik cokelatnya beralih menatap tiket di tangannya, seketika menerbitkan senyum yang terukir dalam. Jogja tunggu gue disana, batin Wulan.  Banyak misi yang harus Wulan selesai di sana. Termasuk mencari tahu keberadaan seseorang yang saat ini sedang ia pandang di sebuah foto yang tersemat di dompet mininya. Seorang gadis kecil dengan pita kupu-kupu memeluk pinggang laki-laki yang lebih tinggi darinya.

KALIBIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang