18. Berubah

51 12 15
                                    

Kafe bernuansa putih dengan kasir dan tempat peracikan kopi berwarna cokelat tua, serta bangku putih menambah kesan aesthetic pada kafe yang bernama 'Coffe Blanco and Book', milik pengusaha muda yaitu Aska Nugraha.

Tiga hari yang lalu Aska merenovasi kafe dengan hasil uang dari pekerjaannya menjadi fotografer. Aska menjual hasil foto-foto cantik dari perjalanannya ke berbagai tempat di Jogja bersama teman komunitas lainnya. Tujuannya mendapatkan uang, pengalaman, sekaligus ingin memperkenalkan budaya Jogja kepada dunia.

Hal itu membuat Wulan terkagum-kagum dengan lelaki yang menyandang sebagai sahabat kecilnya. Dia tidak menyangka bahwa Aska akan menjadi lebih dari ia pikirkan selama ini.

Aska dan semua staf kafe mulai menjalankan tugasnya masing-masing. Aska sibuk mengedit beberapa foto yang terpapar di layar laptopnya. Ia yang fokus tiba-tiba merasa terganggu dengan congkelan kecil di lengannya, membuatnya terpaksa mendongak menatap Wulan yang sedang tersenyum tipis seraya membawa nampan berisi bubur ayam dan secangkir kopi racikan Fendi.

Tatapan mereka terkunci beberapa detik sebelum Aska membuang mukanya. Ia menyentuh dadanya yang sedang tidak baik-baik saja. "Taruh aja, di situ," titah Aska datar.

Seketika senyuman Wulan sirna melihat Aska yang tidak berekspresi. Biasanya setiap pagi Aska selalu menemuinya dan mengucapkan selamat pagi, atau hanya sekadar memandang dan menggodanya. Namun, ia memaksakan senyumnya kembali menungging. Dia menaruh bubur ayam kesukaan Aska dan kopi di depannya.

Aku harus ngerti, Aska lagi sibuk, batin Wulan. Wulan berlalu kembali ke dapur.

Beberapa menit kemudian, Wulan kembali ke depan untuk memeriksa apakah Aska sudah menghabiskan sarapannya atau belum. Namun, langkah Wulan berhenti beberapa detik, dari kejauhan Wulan bisa melihat buburnya tidak tersentuh sama sekali. Hatinya seolah teriris, ada apa dengan Aska? Tidak biasanya dia tidak menyentuh makanan yang dibawakan Wulan.

Wulan melangkah menuju tempat di mana Aska duduk. "Aska, kok buburnya belum di makan."

"Kamu aja yang makan, Pelangi. Aku cukup minum kopi, aja." Aska membalas perkataan Wulan tanpa melihat lawan bicara.

"Ingat Aska, kalau kamu nggak makan pagi, sakit lambung kamu bisa kambuh," tutur Wulan dengan nada khawatir.

Aska menutup laptopnya memasuki ke dalam tas. Berdiri lalu meneguk kopi di depannya. "Aku sibuk, Pelangi. Nanti aja aku makan di luar," ucapnya sebelum berlalu dari hadapan Wulan. Wulan memandang punggung Aska yang lenyap di balik pintu.

Kafe memang sepi di pagi hari, akan mulai ramai dari pukul 11 siang sampai malam. Pelangi memandang bubur yang sudah dingin di depannya sebelum ia mengangkat dan membawa ke dapur.

Wulan memasuki dapur dengan muka masam. Fara yang baru saja selesai mencuci tangan menarik alisnya ke dalam, melihat wajah masam sahabatnya, lalu beralih menatap mangkuk yang masih terisi dengan bubur yang mereka beli di perjalanan menuju kafe.

"Kenapa, Lan?" tanya Fara menghampiri Wulan yang sedang menaruh mangkuk di meja dekat kompor.

Wulan menggeleng. "Akhir-akhir ini, gue merasa Aska aneh, Far," curhatnya.

"Maksudnya?" Fara tampak tidak mengerti apa yang dibicarakan Wulan. Fara tahu betul, setiap pagi Aska selalu menemui Wulan sebelum berangkat kerja, atau untuk sarapan roti bakar yang dibuat Wulan.

"Lo ingat kan, tiga hari yang lalu di mana kita libur karena kafe lagi direnovasi," ujar Wulan yang diiringi anggukan dari Fara. "Sejak hari itu, Aska cuek banget sama gue. Pesan gue dibalas singkat, sapaan gue cuma dibalas senyum. Bahkan, dia nggak bicara sebelum gue bicara," jelas Wulan.

"Mungkin dia lagi sibuk, atau banyak pikiran," balas Fara mencoba menenangkan Wulan.

"Gue kenal dia, Far. Tanpa gue tanya dia bakal cerita duluan kalau dia punya masalah, tapi dia bahkan nggak cerita masalahnya ketika gue tanya sekalipun." Wulan memilit ujung celemek yang ia gunakan.

"Nggak semua masalah bisa diceritain, Lan. Kasih dia waktu." Fara menepuk bahu Wulan dan meninggalkan gadis yang masih berdiskusi dengan pikirannya.


Lo benar, Far. Tapi kali ini dia beda, ucapnya dalam hati.

🦋🦋🦋

"Assalamualaikum, Buk Atik!" Panggil Wulan dari luar dengan kedua tangan yang menenteng kantong plastik.

"Wa'alaikumussalam," sahut Buk Atik dari dalam rumah.

KALIBIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang