25. Kemarahan Aska

54 14 6
                                    

Satu hal yang aku sesali. Penuduhan itu keluar dari mulut pacarku sendiri.

-Pelangi Wulandari-

•••

Aska duduk di sebelah Rio yang sedang menyetir. Temannya yang lain sudah terlebih dahulu sampai di rumah, tinggal Aska dan Rio saja. Sesampai di sebuah rumah berukuran sedang, dengan dinding setengah tembok dan setengah papan. Rumah yang mempunyai halaman yang sangat luas dan dua pohon mangga di depannya. Tidak seperti temannya yang lain, Rio yang paling sederhana di antara mereka.

Rio dan Aska keluar dari mobil. Mereka berpelukan sambil menepuk bahu, seperti yang dilakukan pria pada umumnya.

"Thanks, Bro." Rio mengangkat tangannya seraya berjalan menuju pagar kayu.

"Yap!" sahut Aska. Ia memutar mobil, masuk, dan menancap pedal gas menjauhi rumah Rio.

Deringan ponsel, mengalihkan perhatian Aska dari jalanan. "Siapa, sih." Aska mengambil ponselnya, dua notifikasi dari Keisya. "Apaan, sih, ni, cewek." Aska melempar ponselnya ke kursi sebelahnya.

Meladeni orang-orang yang tidak penting hanya menghabiskan waktu dan pikiran saja. Apalagi wanita ular seperti Keisya. Suara notifikasi kembali bersuara dari ponsel Aska. Aska tidak menghiraukannya. Aska tahu itu pasti pesan dari Keisya, siluman ular. Namun, Aska refleks mengambil ponsel, mungkin saja bukan Keisya.

Ternyata benar, Keisya yang mengirimkan pesan. Namun, pesan terakhir yang dikirimkan Keisya benar-benar menarik perhatian Aska. Aska mencari tempat yang aman untuk menepikan mobil dan membuka roomchat.

Keisya:
|Mengirimkan foto

|Mengirimkan foto

Gue nggak nyangka, ternyata pacar lo selingkuh sama sahabat lo sendiri.


Mata Aska melihat dua lembar foto kemesraan antara Wulan dan Fendi. Satu foto Wulan yang sedang disuapi Fendi, satu lagi foto Fendi yang menggenggam tangan Wulan dan dibalas dengan tatapan penuh arti dari Wulan. Benar-benar fotografer yang baik, bahkan Keisya lebih baik dalam mengambil foto dari pada Aska.

Aska mencengkram erat stir mobil, hingga urat-urat tangannya timbul. Mukanya merah padam, emosinya meletup-letup. Aska mengadah menetralkan emosinya yang sedang membakar dirinya.

"Oke, Aska. Sabar, lo nggak boleh kemakan omongan Keisya," monolog Aska.

Aska melakukan apa yang psikiater ajarkan padanya ketika emosi menguasai dirinya. Aska menarik napas dalam dan menghembuskan pelan. Tangannya mengusap dada dan menyakinkan diri. "Pelangi nggak mungkin bisa ngelakuin itu, Aska. Lo nggak boleh salah paham."

Merasa dirinya cukup tenang, Aska menjalankan mobilnya menuju kafe. Mungkin ia akan bermalam di kafe seraya menunggu Wulan esok pagi dan meminta penjelasannya. Aska keluar dari mobil, ia memicingkan matanya melihat gadis berhoodie berlari kecil menjauhi kafenya.

Aska tidak menghiraukan, dia memilih membuka pintu kafe. Keningnya mengerut, dengan mata yang mendelik tajam. Mengapa pintu kafe masih terbuka? Atau jangan-jangan ada maling yang masuk.

Suara tubrukan mengalihkan perhatian Aska. Seorang pria yang sangat Aska kenal terjatuh dalam pelukan Wulan. Iya, itu adalah Fendi. Aska bisa menyaksikan aksi tatap-menatap yang dilakukan oleh kedua insan di depannya. Ia bisa melihat jelas bagaimana tatapan Wulan yang langsung disambut hangat oleh Fendi. Namun, beberapa detik kemudian mereka beranjak.

KALIBIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang