15. Acara apa?

64 16 9
                                    

Gadis dan pria itu duduk di depan dokter yang sedang melihat buku yang berisi perkembangan daya ingat Aska. Wulan meremas jarinya, sesekali menggigit bibir bawahnya, ia menoleh melihat pria di sampingnya tampak tenang. Menarik napas dan mengembuskan pelan adalah pilihan tepat untuk tetap bersikap tenang. Menunggu satu kata keluar dari wanita di depannya membuat ia gelisah.

"Apa kamu meminum vitamin dan obat secara teratur, Aska?" tanya Dokter.

Aska menggeleng. "Saya meminumnya ketika merasa nyeri atau tidak mampu mengontrol ingatan." Aska tahu ini akan ditanyakan, tidak ada gunanya berbohong dengan seorang dokter.

Dokter Marisa mengangguk, kemudian melihat gadis di samping Aska. "Siapa namamu, kamu bukan gadis yang selalu dibawa Aska?"

"Pelangi, Dok," jawab Wulan. Wulan tahu betul siapa gadis yang selalu dibawa Aska, tentu saja Asya.

Tiba-tiba Dokter Marisa tersenyum melihat keduanya, membuat sebuah kerutan di kening Aska, pun Wulan.
"85% otakmu sudah membaik, daya ingatmu juga sudah meningkat, tetapi tidak menutup kemungkinan jika nanti kamu tiba-tiba kembali lupa tentang masa lalu. Cedera di otakmu belum sembuh total. Seharusnya kamu tidak akan sembuh secepat ini karena saya tau kamu tidak meminum obat yang saya berikan." Dokter melirik Wulan. "Tapi mungkin obatmu sudah datang dan kamu hanya memerlukan beberapa vitamin." Dokter mencorat-coret kertasnya dan memberikan kepada Aska. "Bisa ditebus di Apotek."

Wulan dan Aska pamit dan keluar dari ruang serba putih itu. Wulan terus saja tersenyum memandang Aska di sampingnya. "Ingat, aku adalah obatmu. Untung sebelumnya aku belajar buat kue cokelat." Pelangi menyenggol Aska seraya tertawa pelan. Kue cokelat ternyata adalah sebuah stimulus untuk membangkitkan ingatan Aska kembali.

Aska melirik sinis Wulan, benar-benar sahabat durhaka, kerjaannya menggoda saja. Ide pun muncul dari pikirannya, Aska melirik ke arah Wulan dan tersenyum jahil. Dalam perjalanan menuju lobi rumah sakit Aska menghentikan langkahnya dan membiarkan Wulan pergi sendiri. Wulan melangkah dengan tangan yang memegang tali tas dan mata yang terus membaca poster yang disematkan pada dinding rumah sakit. Merasa ada yang kurang ia melirik pria di sampingnya, Wulan membelalakkan matanya terkejut pria itu tidak ada di sampingnya. Ia menepuk dahinya pelan, berbalik mengambil langkah seribu mencari Aska.

Panggilan nama Aska bergema di sepanjang lorong, Wulan menelpon Aska berkali-kali, langkahnya masih menelusuri lorong-lorong sampai sebuah tempat terlintas di benaknya. "Dia pasti di toilet."

Wulan berlari kecil menuju toilet di ujung lorong, dia menekan nomor Aska kembali, tetapi tidak ada suara dari dalam toilet pria. Wulan mencoba menelpon Aska sekali lagi. Telinganya melebar mendengar deringan ponsel dari arah lain.
Wulan membelalakkan matanya, deringan ponsel yang ia dengar berasal dari kamar jenazah. Jangan-jangan Aska di bawa hantu lagi, atau Aska kesurupan terus ke sini. Pelangi menekan handle pintu, memberanikan diri untuk melihat ke dalam. Tidak ada apa-apa, hanya brangkas dan selimut putih yang tersusun rapi, bahkan matanya bisa melihat jelas tidak ada satu pun jasad di sana.

"Mungkin aku yang salah dengar." Pelangi menutup kembali pintu. Namun, langkahnya terhenti mendengar suara dari dalam kamar yang ia buka tadi. Itu suara brangkar yang sedang terdorong. Keringat dingin membasahi pelipisnya, ia meneguk salivanya, lalu mengatur tempo napas yang berantakan.
Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Dia membuka pintu, matanya terbuka melihat sosok pria berbalut selimut dan berlumuran yang darah sedang tidur di depan pintu.

"Aaa ...." Jantungnya berdegup kencang, tangannya tremor, keringat bercucuran di   pelipisnya. Tidak lama kemudian matanya memburam, dan berakhir pingsan.

Pria berdarah yang sedang berbaring itu terkejut melihat apa yang dilakukannya tidak berjalan sesuai rencana. Dia bangun menyapu seluruh Betadine yang dia teteskan di mukanya menggunakan selimut. Sekarang tampak jelas pria itu adalah Aska.

"Pelangi, Pelangi, bangun, hei." Aska menepuk-nepuk pipi Wulan.
Aska mulai panik melihat Wulan tidak kunjung bangun. Dia membopong tubuh Wulan dan hendak membawa ke UGD. "Aww ...." Aska meringis ketika mendapat cubitan di lengan kirinya.

Wulan yang sedang dibopong Aska tahu bahwa sahabatnya ingin mengerjainya, awalnya dia memang takut. Namun, ketika melihat handphone Aska yang tergeletak di samping badan Aska membuat ide Wulan pun muncul.

"Kamu ngerjain aku?" tanya Aska menurunkan Pelangi dengan kasar.

"Heh, maling teriak maling. Kamu ya, yang mulai." Wulan berkacak pinggang, bibir bawah dimajukan dengan giginya yang rapat di dalamnya, kupingnya sudah merah dan matanya melotot besar.

"Ya, yaudah. Maaf." Aska menyodorkan tangannya.

"Dimaafkan bukan untuk diulang." Wulan menerima tangan Aska.

Dua suster yang lewat menyaksikan adegan mereka. "Lucu ya, kayak bocil." Mereka tertawa pelan.

•••

Fendi membalikkan papan di pintu kafe menjadi close, dia mengambil sarung bergegas ke Masjid. Fendi memilih jalan kaki, hitung-hitung menambah amal pikirnya. Langkahnya berhenti melihat gadis yang ia kenal menaiki taksi. Itu bukannya Fara, ya, batinnya. Fendi tidak menghiraukan dan melanjutkan perjalanannya ke Masjid.

Fara melihat jam tangannya menunjukan pukul 11.00, kemungkinan besar Wulan sudah sampai di rumah. "Pak tolong di percepat, ya."

"Baik." Sopir taksi itu mengangguk.

🦋

"Assalamualaikum," salam Wulan membuka pintu
.
Fara terkejut dan menjatuhkan surat di tangannya begitu melihat Wulan masuk Fara langsung menyingkirkan surat itu ke bawah kasur menggunakan kaki. "Wa'alaikumussalam, gimana Aska?"

"Dia udah baikkan," balas Wulan seraya meletakkan belanjaan di meja. "Nih, ayam geprek. Gue belinya di tempat Buk Rum," tuturnya.

"Wah, tempat kesukaan gue." Fara mengambil kantong berisi ayam geprek, duduk lesehan dan menyantap nikmat.

“Heh! Cuci tangan dulu!” teriak Wulan dari belakang.

“Balu siap mandi, nggak Pellu cucu tungan!” balasnya dengan mulut penuh.

Ya, sudah. Wulan hanya bisa pasrah dengan hadirnya Fara yang selalu bangun terlambat, dan makan dengan tidak mencuci tangan. Siapa sangka? Fara yang dari kecilnya sosok mandiri ternyata bisa seperti ini.

Selesai berjibaku dengan makanan di depannya, kedua muka gadis tersebut memerah. Ini benar-benar pedas membuat mulutnya ketagihan, tetapi tidak dengan lambungnya.

🦋

Setelah mengantarkan Wulan, Aska melajukan mobilnya ke Masjid. Sampai di sana ia bertemu dengan Fendi. "Hei," sapa Aska dengan menepuk bahu pria itu.

Fendi terkejut dan mengelus dadanya. Ia menepuk kencang bahu Aska menciptakan rintihan kecil di bibirnya.

"Kebetulan ketemu di sini, gue mau ngomong sesuatu sama lo." Aska merangkul Fendi.

Sepanjang perjalanan menuju kafe Fendi dibuat penasaran oleh Aska. Sampai mereka masuk ke kafe, Fendi membalikkan papan di pintu kafe menjadi open dan duduk di depan Aska.

"Mau ngomong soal apa?" tanya Fendi.

"Besok Pelangi bakal gabung lagi bareng kita," papar Aska.

"Wulan maksud lo?" tanya Fendi.

"Iya, Fen. Kan lo udah tau dia itu Pelangi sahabat gue dari kecil," jelas Aska.

"Baru sadar, ya, Mas. Dulu ke mana?" Fendi menaikkan sebelah alisnya.

Aska tahu jika dia meladeni manusia di depannya masalah akan bertambah panjang. Lonceng berbunyi mengalihkan perhatian dua pria yang sedang berbicara perihal Wulan.

Keisya masuk meletakkan tasnya di kasir. Perempuan yang menyandang sebagai kasir itu bermuka masam. Aska melihat Fendi dan mengangkat dagunya seolah menanyakan ‘kenapa', Fendi menjawab dengan mengangkat bahu tak acuh.

"Aku harus membuat rencana baru. Semakin ke sini dia semakin dekat dengan ...." Keisya diam ketika menyadari Aska mendekatinya.

"Kei, gue sama Fendi udah sepakat.” Aska diam sejenak ketika merasa Keisya tidak meresponnya. “Lo dengar gue nggak?" Aska menepuk bahu Keisya yang diam tidak bergeming.

"Iya, iya, gue dengar. Apa? Sepakat apa?" Keisya melipat tangannya di depan dada, ia sebenarnya kesal melihat Aska.

Karyawan pertama Aska adalah Fendi dan Keisya, mereka berdua yang sudah jatuh bangun bersamanya. Tidak heran jika segala sesuatu mereka akan berdiskusi terlebih dahulu, baru memberi tahu yang lain.

"Malam besok, kita bakal buat acara yang di mana acara itu akan mengundang banyak konsumen ke kafe kita," jelas Aska.

Keisya mengangguk. "Acara apa rencananya?"

"..."

🦋🦋🦋

Hola!
Terima kasih karena sudah baca, vote, dan komen.

See you next part 🌺

KALIBIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang