31. Sudah Takdir

44 9 4
                                    

Lonceng berbunyi, tanda ada pengunjung masuk ke kafe. Seorang wanita membuka pintu kafe seraya menolak kursi roda ditangannya. Sontak menjadi perhatian para staf dan pengunjung lainnya.

Fendi dan Keisya saling menatap, seolah meminta penjelasan. Sedangkan Wahyu berlari menuju dapur.

"Aska, Wulan, Fara," panggil Wahyu dari ambang pintu dapur.

Mereka menoleh bersamaan. Ketiganya mengerutkan kening, heran melihat Wahyu yang tampak cemas.

"Diluar ada bunda Aska." Ucapan Wahyu menghadirkan senyum di wajah Wulan dan Aska.

Mereka keluar bersamaan kecuali Fara. Wulan mematung melihat wanita yang sedang duduk di kursi roda. Dia ingat betul siapa wanita itu. Dian menolak kursi roda lebih dekat ke arah Wulan dan Aska.

Aska menahan napasnya. Melihat gadis di kursi roda itu tampak lemah tak berdaya. Apa benar dia menjual ginjalnya untuk membeli iPhone 13? Meski gila Aska tau Asya masih waras.

Iya, gadis yang sedang duduk di kursi roda itu adalah Asya. Gadis yang setahun lalu hilang entah ke mana, kini kembali dengan kondisi yang seperti ini. Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa tiba-tiba Asya dan Dian jadi dekat seperti ini. Perasaan Aska melihat Asya baik-baik saja satu bulan yang lalu saat di rumah ibunya.

Dian mendorong kursi roda melewati Wulan, Aska, dan Agus yang sedang mematung, Dian membawa Asya ke dapur. Fara yang sedang mengelap beberapa piring pun mematung. Apa yang terjadi sehingga ibu Aska membawa Asya ke mari. Lalu kenapa Asya bisa sakit? Dia sakit apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang mengeroyok pikiran Fara, mungkin juga staf lainnya. Fara berjalan mendekati Wulan yang masuk bersama Aska.

"Aska butuh penjelasan sekarang dari, Bunda." Aska menatap manik ibunya meminta penjelasan.

Dian menghela napas lalu menghembuskan pelan. Ia menerawang kejadian di mana ia memeriksa dirinya di sebuah rumah sakit. "Bunda menderita gagal ginjal, Aska." Ucapan Dian menohok seisi ruangan yang sedang menanti jawaban dari ibu Aska.

Seisi ruangan hanya diam mematung, tidak ada yang membuka suara atau berniat menyela cerita Dian, termasuk Aska. Aska mencoba mencerna ucapan ibunya dan insiden satu bulan yang lalu ketika ia menemui Bunda berbicara serius dengan Asya.

"Bunda menderita gagal ginjal akibat terlalu banyak meminum obat berdosis tinggi. Maaf, kalau Bunda nggak bilang sama kamu. Bunda nggak mau kamu repot dan membuat kamu meninggalkan pekerjaan kamu di sini." Dian menjeda ucapannya menunggu respon dari anaknya.

Namun, lagi-lagi Aska hanya diam mencerna semua kejadian yang terjadi di depan matanya. Ada rasa bahwa ini semua hanya mimpi. Sedangkan Wulan menatap sendu kedua manik Asya yang duduk di kursi roda, seolah kejadian hari ini adalah jawaban dari kegelisahannya kemarin.

"Dua Minggu sekali, bunda ke rumah sakit buat cuci darah. Sampai suatu hari bunda ketemu sama Asya, Asya menceritakan semua tentang permasalahan kalian, dia juga minta maaf udah membohongi kamu, Aska." Dian mendekati putranya. "Bunda butuh transplantasi ginjal secepatnya, Asya yang udah bersedia mendonorkan satu ginjalnya buat Bunda."

Pernyataan itu menusuk sanubari Aska. Mendengar hal itu membuat Aska menggeleng tidak percaya. Mengapa ia sama sekali tidak tahu penyakit serius yang dialami ibunya. "Kenapa, Bun? Kenapa Bunda lebih percaya Asya dari Aska. Kenapa Bunda nggak bilang sama Aska. Bahkan ketika kalian udah kepergok bicara tentang donor mendonor pun kalian nggak jujur sama Aska!" Air mata pun lolos di kedua belah pipi Aska.

Dian mengambil tangan putranya. "Maafin, Bunda, Aska. Tapi Asya adalah wanita yang baik. Asya rela mengorbankan nyawa demi Bunda. Kebetulan darah kita sama, dan Asya juga nggak punya riwayat sakit apapun."

KALIBIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang