29. Kenangan Kota Tua

55 10 7
                                    

Cintai apa yang kamu kerjakan.

•••

Hawa dingin menusuk kulit gadis berambut hitam yang sedang berjalan di antara bangunan-bangunan bergaya Eropa, yang dibangun sekitar abad ke-18. Gadis itu merapatkan jaket hitamnya, angin menerpa wajahnya membuat ia beberapa kali mengucek mata. sepertinya hujan akan turun sebentar lagi.

Rok cokelat muda melewati lutut, baju putih polos yang dibaluti jaket, serta rambut yang terbang karena angin yang lumayan kencang. Mungkin sebentar lagi badai akan datang. Tangannya melambai menghentikan sebuah taksi yang lewat. Jendela mobil putih itu turun.

"Ke taman Fatahillah, Pak!" ujarnya diangguki sopir.

Tangannya membuka pintu mobil dan duduk di bangku belakang. Matanya tak lepas dari ponsel dalam genggamannya. Sepasangan kekasih yang serasi duduk di papan kayu yang terpahat di atas pohon pinus.

"Kenapa kamu nggak jemput aku, Aska?" Iya, gadis tersebut adalah Pelangi Wulandari.

Setelah membantu ibunya membuka toko. Wulan pergi sebentar mengunjungi Kota Tua dan kenangannya. Namun, sepertinya alam sedang bersedih, membuatnya terpaksa harus menaiki taksi.

Tiga menit kemudian, taksi berhenti di Taman Fatahillah. Sangat dekat sebenarnya, bodohnya mengapa ia harus menaiki taksi? Wulan turun setelah membayar. Pikirannya tidak bekerja bagus saat ini.

Raganya di Jakarta, tetapi hatinya di Yogyakarta. Kulitnya mulai merasa panas, menengadah menatap langit yang tiba-tiba saja berubah warna. Awan abu-abu tertiup hilang berganti biru muda.

Memang cuaca suka berubah-ubah, tetapi tidak dengan perasaannya. Ia duduk di sebuah bangku, memasangkan earphone dan hanyut dalam memorinya.

"Aska?" Wulan berumuran 14 tahun memanggil Aska yang masih memakai seragam SMA-nya. "Ayuk, sini! Kita naik sepeda itu, yuk!" Wulan menunjuk sepeda berwarna merah muda yang berjejeran di lapangan kota tua.

"Jangan yang merah muda, dong, Pelangi. Masak cowok naik sepeda merah muda." Bibir Aska manyun ke depan melihat Wulan yang sudah bersiap naik ke bangku belakang sepeda.

"Yah ... ayo dong, pliss ...." Wulan menyatukan kedua tangannya di bawah dagu, memohon.

Aska menghela napas, jika Wulan sudah pakai mode 'pliss' maka Aska hanya bisa pasrah dan mengangguk. Aska menyewa sepeda ontel merah muda dan membawa Wulan berkeliling.

Wulan merentangkan tangannya ke samping dengan wajah menengadah menatap langit biru. "Aku senang banget ... Kamu senang, nggak?"

"Senangku ketika melihat kamu senang? Apa perlu di tanya, lagi?" tanya Aska menoleh ke belakang.

Wulan menggeleng seraya tersenyum. "Nggak, Aska." Ia memeluk Aska dari belakang menikmati 30 menit di atas sepeda ontel.

"Senangku ketika melihat kamu senang, Pelangi."

Wulan membuka matanya. Tidak, suara itu tidak berasal dari kenangannya. Namun, mengapa suara itu menembus alunan lagu dari earphone-nya. Wulan meraba satu telinganya, earphone-nya ternyata sudah jatuh. Namun, kapan? Mungkin ia tenggelam dalam memori masa lalu yang sangat ia rindukan.

Wulan berdiri mencari earphone-nya  yang entah jatuh ke mana. Ia berjongkok melihat ke bawah bangku panjang. Masih dalam posisi sama tiba-tiba saja sepasang sepatu berhenti di hadapannya. Bukan, maksudnya seseorang yang berdiri di hadapannya.

"Ini yang kamu cari?" Suara seorang pria seraya menyodorkan earphone Wulan.

Namun, Wulan bergeming mencoba mencerna suara yang berasal dari mulut pemilik sepatu Converse di depannya.

KALIBIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang