36. Nikah

101 9 9
                                    

Tidak ada yang selalu sama seiring berjalannya waktu. Termasuk perasaan.

•••

Saat ini Aska membawa mobil menuju kediaman ibunya. Sorot matanya lurus ke depan, bibirnya tersenyum tipis. Sesekali ia melirik Wulan di sampingnya.

"Ayo, lah, katakan, Aska. Dari mana kamu tau aku ada di Kalibiru?" Pertanyaan yang sudah 4 kali di tanyakan Wulan kepada Aska.

"Ahmad." Akhirnya Aska menjawab karena tidak sanggup mendengar rengekan Wulan.

Wulan tersenyum ternyata adiknya benar-benar bermanfaat. Ia mengira Ahmad meninggalkannya di Kalibiru dan menjemput nanti. Ternyata adiknya mengirim seseorang untuk menjemputnya.

Mobil hitam itu berbelok ke dalam pekarangan rumah Dian. Terlihat Dian yang sedang duduk di sana bersama seorang lelaki pun berdiri. Iya, lelaki itu adalah Ahmad. Ahmad sengaja menemui Dian untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi kepada Wulan selama 2 tahun terakhir.

Wulan turun dengan tergesa-gesa, membanting pintu lalu berlari memeluk Dian. Wulan dan Dian mempererat pelukan. Buliran air berjatuhan membasahi bahu masing-masing.

"Aska! Yuhu!" Wulan kembali dari balik dapur. Ia membawa kue cokelat.

Ahmad menatap kakaknya, hatinya terenyuh melihat senyum yang lama tidak ia lihat. Senyum lepas dengan bola mata yang tak menyimpan sendu apapun.

"Wah! Tau aja gue kangen!" Aska dengan antusias mengambil piring dari tangan Wulan, lalu menaruh di meja depannya.

"Aska!" Wulan memekik memeluk Aska dari samping.

Tiba-tiba listrik padam diiringi suara petir, dengan cahaya menembus jendela. Sebenarnya Wulan tidak terlalu takut. Namun, ia mengambil kesempatan agar bisa memeluk Aska sepuasnya. Ia mendusel pada bidang dada milik Aska, mencari teman tenyaman untuk posisi yang sama sampai esok pagi.

•••

"Aaaa!!!" Pekik Wulan dan Aska bersamaan.

Seluruh rumah kacau karena penerbangan mereka ke Jakarta tinggal 3 jam lagi. Belum lagi dari rumah Dian ke bandara menempuh waktu 2 jam lebih, Dian dan Ahmad ikut panik karena mereka semua bangun terlambat.

"Jam berapa berangkat?" tanya Wulan.

"Jam 9 pas, Pelangi! Makanya cepet-cepet cuci muka, nggak usah mandi!" Sungguh Aska merasa kesal dengan Wulan yang selalu menanyakan jam.

Keempatnya berhasil menginjakkan kaki pada bandara YAI tepat waktu. Wulan, Aska, dan Dian, pergi melambaikan tangan pada Ahmad. Ahmad tidak ikut, tentu saja karena ia akan menjemput Fara dan Ari yang masih di rumah Fendi. Mereka akan pulang dengan mobil.

•••

"Assalamualaikum, Ma!" pekik Wulan.

Mereka mendarat dengan selamat pukul 10.30 pagi. Dengan bangganya Wulan membawa Aska dan Dian masuk ke dalam rumah. Senyum yang kembali pulih dengan gerakan tubuh yang kembali sama. Sebelum pada akhirnya ia berhenti dan mematung, rautnya berubah drastis. Melihat keluarga Arga yang sedang berbincang dengan Astuty-Ibu Wulan.

Astuty menoleh tersenyum melihat anaknya kembali, senyumnya lebih lebar ketika melihat seseorang di belakang Wulan. "Dian?" Astuty langsung berlari memeluk Dian.

"Tut, sesak, ni." Dian mencoba melepaskan pelukan Astuty yang sangat erat.

Astuty memukul Dian pelan. "Kamu masih aja panggil aku, Tut."

Tawa mereka pecah. Sebelum akhirnya berhenti karena menyadari gerakan Wulan menuju dapur.

"Wulan, mau ke mana? tanya Astuty menghentikan langkahnya.

KALIBIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang