"Assalamualaikum," ucap Wulan dari arah luar seraya membuka pintu kaca.
Fendi yang sedang mengelap penggiling kopi pun menoleh. "Wa'alaikumussalam, Wulan. Tumben, nggak bareng Fara."
"Oh, Fara ada kok di belakang." Melihat semua sudah tersusun rapi membuat Wulan memutuskan untuk mendekati Fendi. "Lagi ngapain, Kak?"
Fendi menoleh pada Wulan sekilas. "Lagi bersihin ini," ucapnya dengan tangan yang masih mengelap penggiling.
Wulan hanya mengangguk, ia menoleh pada jam yang melingkar di tangannya. Ia berdiri di samping Fendi seraya membelakangi meja. "Tumben baru kita berdua. Lain ke mana, ya?" tanya Wulan heran.
Fendi menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh pada Wulan. Melihat Wulan dari samping, membuat luka lamanya kembali. Alih-alih menjawab, Fendi justru melayangkan pertanyaan. "Lo tau nggak?"
Spontan Wulan menggeleng tanpa menoleh pada Fendy.
"Setiap gue lihat lo, itu buat gue membuka kembali luka lama gue."
Ucapan itu berhasil membuat Wulan menoleh, menghadap sempurna pada Fendi. Ia mengerutkan keningnya menerka-nerka apa yang dimaksud Fendi. "Maksudnya?" tanya Wulan pelan dengan alis yang terangkat samar.
"Lo mirip dengan Alula," Fendi sekarang menatap Wulan penuh dengan tangan yang sudah ia lipat di depan dada.
Kerutan Wulan bertambah. Alula? Luka lama? Wulan menanti ucapan Fendy selanjutnya yang bahkan sampai satu menit, pria yang menatapnya itu tidak kunjung membuka suara.
"Alula adik gue," beri tahu Fendi. "Dia udah nggak ada, dan itu juga salah gue." Fendi akhirnya berbalik dan duduk di kursi yang berada di dekat mereka.
Wulan mengikuti Fendi, ikut mengambil tempat di hadapan pria itu. Gadis dengan rambut kuncir itu memberi atensi penuh pada ucapan Fendy selanjutnya.
"Mata, lesung, bibir, rambut, tinggi kalian sama, Lan. Lo benar-benar kayak duplikat dari Alula," ucap Fendy.
"Apa nggak ada perbedaan antara kami?" tanya Wulan ragu.
Fendi tentu mengangguk. "Hidung lo lebih kecil dari dia."
Spontan Wulan menyentuh hidungnya, dan menerka-nerka seperti apa wajah Alula dengan hidung lebih lebar. Ia tersenyum, beranjak dari kursi dan menarik agar kursi itu mendekat dengan tempat Fendy duduk.
Wulan menarik tangan Fendi agar berdiri. Ia menaiki kursi dan memeluk Fendi. Sepasang tangannya melingkar pada leher lelaki itu seraya mengusap belakang kepalanya pelan. "Kematian yang mana sehingga Kak Fendi menyalahkan diri?"
Fendy yang masih tertegun dengan gerakan Wulan pun tersadar. Ia menungging senyum, pelukan Wulan terasa hangat. "Alula meninggal, dia donorin jantungnya buat gue, karena waktu gue berumur 12 tahun gue sakit parah."
Wulan melepas pelukannya. Ia menatap Fendi dengan bawah mata yang entah sejak kapan sudah memerah. "Itu artinya dia masih ada, dia masih hidup dalam tubuh, Kakak. Dia masih berdetak dan selalu dalam diri Kak Fendi."
Bagaimana Fendi bisa berhenti menyalahkan diri sendiri dan menganggap semua pernyataan Wulan adalah kebenaran.
Bunda selalu benci padanya, bunda benci ketika ia tertawa. Bunda selalu bilang, "kamu tidak seharusnya tertawa, kamu tidak lebih dari pembunuh. Kenapa kamu tidak menolak ketika Alula mendonorkan jantungnya padamu?"
Fendy yang masih kecil saat itu hanya bisa diam, dia bahkan tidak tahu apapun, apapun itu mengenai bagaimana adiknya yang masih berusia 9 tahun itu mendonorkan jantungnya. Bagaimana Fendy bisa menjelaskan pada Bunda, bahwa ia tidak salah dan Alula masih ada seperti apa kata Wulan. Bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
KALIBIRU (End)
Romance[TOP #8 Author Got Talent 2021 Kategori Best Branding] "Karena sebenarnya perasaan kamu udah berubah, kan? Karena kamu takut kehilangan aku, iya, kan?" Kisah seorang gadis berlesung pipi yang bersikeras mengembalikan seluruh ingatan orang yang disay...