30. Terakhir?

55 9 5
                                    

Wulan berjalan mengendap-endap ke dapur kafe. "Malam, Fara!" Wulan tiba-tiba memeluk Fara yang sedang memasak dari belakang.

Fara terkejut lalu berbalik menatap Wulan. Raut senang sekaligus terkejut bercampur aduk. "Kok nggak bilang kalo mau balik?" tanya Fara antusias.

"Kejutan, dong. Nih." Wulan mengeluarkan satu kotak kue dari paper bag. "Dari mama."

"Thanks, ya." Fara mengambil kotak kue memasukkan kembali ke dalam paper bag. "Btw, gimana? Nyeselkan lari dari permasalahan?"

"Fara, ih ... kan, gue nggak tau." Wulan mencubit lengan Fara, gemas. "Lo sih, kenapa nggak bilang gue?" tanya Wulan.

"Kak Aska udah duluan pesan, jangan bilang apa-apa sama kamu. Tugas aku ngehalangin kamu pergi, tapi kamu tetap pergi." Fara tertawa pelan melihat ekspresi Wulan. Ia berbalik menatap kompor panci di belakangnya. "Pasta!" pekik Fara langsung mematikan api.

Wulan tertawa pelan melihat Fara yang sudah panik harus merebus pasta lain. Sebuah tangan mencolek pipinya membuat Wulan terpaksa menoleh melihat Aska yang sudah berdiri di sampingnya.

"Aku pulang dulu, ya." Aska menyodorkan tangannya.

"Kenapa? Mau disalim?" goda Wulan yang diangguki Aska. Beberapa detik selanjutnya ia meraih tangan Aska dan menyalaminya.

Aska mengacak puncak kepala Wulan karena gemas. "Jadi pengen cepat-cepat jadiin istri."

Wulan mendengar hal itu pun sontak menepuk pelan bahu Aska.

"Ekhem, aku bukan nyamuk, ya, tolong!" Fara berlalu di hadapan mereka seraya membawa pasta kepada pelanggan.

•••

Keisya melihat Wulan yang baru saja kembali ke dalam kafe setelah mengantar Aska. Keisya beranjak dari tempatnya menghampiri Wulan yang sedang berjalan menuju dapur. Fendi melihat hal itu pun was-was agar tidak terjadi yang tidak diinginkan di depan para pengunjung.

"Lan." Keisya meraih lengan Wulan.

Sontak Wulan berbalik dan menatap Keisya. Seketika wajah ceria Wulan berubah drastis, ia menatap Keisya sinis. Wulan menepis tangan Keisya seraya menatap sinis perempuan penuh drama di depannya.

"Ma, maaf. Gue mohon maafnya, Lan." Keisya menyatukan kedua tangannya.

"Iya!" Wulan berbalik kembali menuju dapur.

Namun, Keisya tahu Wulan tidak ikhlas memaafkannya, atau lebih tepat belum memaafkan. Satu helaan keluar dari bibir Keisya, jika Wulan belum memaafkannya maka ia tidak akan bisa hidup tenang.

Fendi mendekati Keisya, terlihat jelas manik Keisya berubah sendu, bibirnya sedikit melengkung ke bawah. Fendi menyentuh bahu Keisya, membuat si empunya bahu menoleh. "Pelan-pelan, Wulan butuh waktu."

Keisya mengangguk lalu tersenyum tipis.

•••

Aska sampai di rumah minimalis milik ibunya. Ia mengendap-endap ingin masuk, tetapi mendengar pembicaraan dua orang dari dalam membuatnya mengintip dan menguping.

"Saya siap bunda, saya siap mendonorkan satu ginjal saya," ucapan seorang gadis dari dalam rumah.

Aska mendengar samar perkataan gadis yang terlihat membelakangi pintu. "Ginjal? Donor? Maksud gadis itu apa?" Aska beralih mengintip lebih leluasa lewat jendela.

KALIBIRU (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang