13 | Koridor

480 36 14
                                    

Alisa kembali mengingat kejadiannya bersama Dian beberapa hari lalu saat Aldevaro mengantarnya pulang ketika beberapa preman mengganggunya.

Malam itu, setelah Aldevaro pergi meninggalkannya ia segera memasuki rumah. Belum sempat ia menatap sang Ibu, sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kirinya.

Dian menatapnya nyalang dengan napas yang sedikit memburu. "MAU JADI ANAK SEPERTI APA KAMU?! PULANG MALAM SAMA LAKI-LAKI!" bentuknya tepat dihadapan wajah Alisa.

Tubuhnya menegang dengan tatapan kebingungan pada sang Ibu yang tiba-tiba menamparnya. Telinganya sedikit berdengung dan pipinya mulai memerah karena tamparan tadi.

"Ma, Alisa bisa jel--" Ia hendak menjelaskan semuanya kepada Dian, namun wanita itu mendorong kasar tubuhnya sehingga tubuhnya menghantam meja kayu.

"Kamu bisa gak, sih bikin saya bahagia sekali aja? Bikin saya bangga, hah? Gak guna banget hidup kamu!" ucapnya dengan suara tinggi.

Alisa meringis pelan karena punggung dan lengannya menghantam kursi dan meja cukup keras. Ah, tubuhnya pasti akan mempunyai banyak luka memar. "Tadi Alis--"

Plak!

Dian menatap tak suka pada Alisa dengan amarah yang terpancar jelas dari wajahnya dan deru napasnya. Ia hanya tidak suka melihat Alisa bersikap lemah dihadapannya tanpa melakukan apa-apa.

Ia malas sekali melihat keberadaan Alisa.

"Ma, tadi Alisa gak sengaja--"

Dian menarik kasar tangan Alisa membuat gadis itu langsung berdiri. Ia mencengkram kuat lengan Alisa, menyalurkan rasa sebalnya pada gadis itu. Dian bergerak menyeret Alisa ke arah dapur.

Wanita itu mendorong kasar tubuh Alisa kedalam kamar mandi. "Seenggaknya kalau kamu gak kerja, beresin rumah! Kamu pikir saya mau tinggal dirumah kecil dan kotor kayak gini, hah?!"

"Bersihin semuanya. Jangan buat saya ngelakuin hal yang lebih kasar sama kamu, Alisa." lanjutnya sambil berlalu pergi meninggalkan gadis itu yang masih terduduk.

Gadis itu meringis merasakan rasa sakit di kepalanya yang muncul kembali secara tiba-tiba. Rasa dingin menjalar ke kakinya. Perlahan Alisa bangkit sambil berpegangan pada tembok.

Ia memejamkan matanya berkali-kali untuk menghilangkan rasa pusingnya. Tentu tak ada hasil. Ia lebih memilih untuk segera membereskan semua pekerjaan rumah agar Dian tak memarahinya lagi.

***

Jam istirahat kedua tiba sekitar beberapa menit yang lalu. Gadis dengan headband yang melingkar di dahinya itu berjalan lesu mendekati kedua temannya yang tengah mengobrol dihalaman depan sekolah.

Fanya yang tengah membaca sebuah buku novel itu menolehkan kepalanya pada Putri dengan dahi yang berkerut heran. "Lemes banget lo," ujarnya melihat ekspresi Putri.

Gadis itu menghembuskan napas berat. "Ada yang kurang. Gak ada Alisa." jawabnya sambil duduk disebelah Fanya.

Angel menyimpan ponsel ke saku seragamnya. "Iya, sih. Belakangan ini lo keliatan akrab banget sama Alisa," sahutnya.

Putri menarik kedua ujung bibirnya, menampilkan sedikit senyuman. "Dia baik, Ngel. Selain itu... ada sesuatu yang buat gue mau temenan terus sama dia," balasnya terdengar tulus.

Fanya dan Angel kompak mengangguk mengerti.

"Pulang sekolah nanti, gimana kalau kita jenguk?" kata Fanya mengajukan membuat Putri dan Angel langsung mengangguk setuju.

Putri menolehkan kepalanya kebelakang, bertepatan dengan hadirnya sosok manusia yang sangat tak ingin ia temui apalagi ia dekati kembali. Sebelum orang itu melihatnya, buru-buru ia mengalihkan pandangannya. "Anjirlah, tuh bocah laknat gak liat ke gue, kan?" batinnya.

FAREWELL: Our Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang