51|Garis takdir

362 27 17
                                    

"Gue gak mau lo nangis. Udah ya? Udah puas belum nangisnya? Kalau belum.. sini, gue bisa peluk lo lagi."

-Aldevaro Dirgantara-

*
*
*

Semesta & Takdirnya
Terimakasih karena telah mempertemukan dua insan dalam satu garis takdir. Terimakasih karena telah mempertemukan banyak insan pada sebuah kebersamaan yang dibalut rasa solidaritas.

***

Alisa terdiam kaku di halaman rumahnya. Mobil Mercedes-benz hitam terpakir dihalaman. Pintu rumahnya pun terbuka. Alisa dapat pastikan, bahwa didalam rumah ada Dian, Ibunya.

Alisa menolehkan kepalanya, memastikan bahwa Aldevaro dan Salva sudah pulang. Ini hari yang sangat menyenangkan baginya. Karena ia bisa menghabiskan waktu bersama Aldevaro dan Salva. Ia bisa menemukan kebahagiaan yang sebelumnya belum ia dapatkan.

Entah bagaimana cara Alisa mendeskripsikan betapa bahagianya ia hari ini. Mulai dari ia berhasil melaju ke babak selanjutnya dalam pertandingan, bisa akrab dengan Aldevaro dan mengenal Salva, sampai acara malam nanti. Meski tadi ia sempat ragu, namun kali ini Alisa sudah yakin.

Perlahan, gadis itu melangkahkan kakinya memasuki rumah. Ia mengeratkan pegangan tangannya pada tali tasnya. Dengan langkah pelan, ia sampai di ruang tengah.

Pemandangan yang tak indah itu harus Alisa dapatkan. Dian tidak datang sendirian, melainkan dengan kekasih barunya, Rio Panantha. Mereka tengah duduk berdekatan di sofa ruang tengah.

17.39

Mobil yang terparkir di halaman rumah adalah pemberian dari Anggara untuk Alisa yang dibawa oleh Dian. Sebenarnya Alisa memang sudah tahu. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.

"Ma-Maa, Alisa pulang..."

"Baru pulang kamu? Gak lihat ini jam berapa?" tanyanya terdengar ketus.

"Maaf, Ma. Tadi.. Alisa ada pertandingan, terus nganter temen," jawabnya pelan.

Dian bangkit dari sofa yang ia duduki, lalu melangkah mendekati Alisa dengan tangan kanan yang membawa kertas putih, nampaknya itu adalah foto.

Alisa semakin dibuat mematung saat Dian benar-benar berdiri tepat didepannya. Perempuan itu mengacungkan foto yang ia pegang kehadapan wajahnya.

Foto perempuan berambut sebahu yang tengah tersenyum simpul. Jelas Alisa tahu siapa perempuan ini. Ia adalah wanita yang pernah Alisa temui di pemakaman. Dan wanita ini juga yang tadi ada bersama Clara di gedung Bahasa.

"Kamu tahu perempuan ini, kan? Jauhi dia. Jangan pernah bicara terlalu jauh sama dia. Camkan ucapan, saya." Dian menatap tajam Alisa, kemudian menurunkan tangannya.

"Mama.. Mama kenal Tante itu? Kenapa Alisa harus jauhin Tante itu?" tanya Alisa dengan wajah kebingungan.

"Saya bilang jauhi. Kamu gak usah banyak tanya." Dian menghela napas kasar. "Satu lagi. Kamu jauhi, dan jangan bicara hal buruk tentang saya, pada Raihan, ataupun Faris. Faham kamu?"

"Om Raihan? Dokter Faris? Mama Clara? Maksud Mama ini apa? Gue gak ngerti sama sekali," batinnya. Sungguh, Alisa memang tak mengerti. Ia berusaha, agar matanya bisa menatap Dian.

"Kamu faham?!" hardik nya masih di depan Alisa.

"Kenapa Ma? Alisa-- Alisa gak bisa kalau harus jauhi Om Faris, apalagi Om Raihan,"

"Turuti. Ucapan. Saya." tekannya.

Gadis cantik itu menggeleng. "Mereka udah seperti orang tua buat Alisa Ma. Alisa rasa.. Alisa gak punya siapa-siapa disini. Tapi bersama mereka, dengan kehadiran mereka, Alisa rasa Alisa gak sendirian. Alisa bersyukur masih ada orang peduli, dan sayang dengan tulus sama Alisa." jelasnya, akhirnya mengutarakan apa yang ia rasa.

FAREWELL: Our Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang