54 | Wismaraja's Cup - day 3

380 33 118
                                    

"Tanpa adanya solidaritas, persahabatan hanyalah ikatan dalam nama. Bukan ikatan dalam batin dan rasa."

*
*
*

Alisa terdiam memperhatikan kotak kecil di hadapannya yang tempo lalu Dian berikan padanya lewat Nek Asri. Ada perasaan ragu saat Alisa ingin membuka kotak itu, mengingat perkataan Anggara di surat yang di tulis langsung oleh laki-laki itu.

Alisa menghela napas. Ia putuskan untuk membukanya lain waktu. Gadis dengan almamater abu itu mengambil ponselnya lalu bergegas keluar kamar.

Sesampainya ia di lantai bawah, Alisa langsung menuju kamar sang Ibu untuk mengajaknya sarapan bersama dengan roti yang ia siapkan sebelum bersiap untuk sekolah. Niatnya urung, saat ia mendengar suara Dian yang tengah mengangkat telepon dari seseorang.

Langkahnya memelan. Diam-diam Alisa memperhatikan sang Ibu dari pintu kamar utama. Rasanya, ada rasa sakit saat Dian mengangkat telepon dengan laki-laki di ponsel itu. Apa Ibunya benar-benar telah melupakan Anggara? Secepat ini?

"Aku gak papa, Mas... kamu selesain urusan kamu dulu aja, ya? Aku baik-baik aja kok di sini," ucap Dian lembut dengan senyuman kecil di hadapan meja rias berwarna putih itu.

"Iya, Mas. Aku juga belum mau kalau hubungan kita jadi berantakan gara-gara istri kamu." lanjut Dian.

Alisa membulatkan matanya dengan perasaan kecewa. Yang didengarnya tidak salah, kan? Apa Dian... mengambil laki-laki yang sudah mempunyai rumah tangga? Sebenarnya, apa yang telah Dian lakukan?

"Mama... sama Om yang waktu itu?" batinnya. Ia mulai mendekat untuk mengetuk pintu kamar. Mengingat akan sosok seorang laki-laki yang pernah berkunjung kerumah Nek Asri waktu lalu.

"Oke, hati-hati ya, Mas."

"Ma?" panggil Alisa setelah Dian menutup teleponnya.

Sontak Dian menolehkan kepalanya pada Alisa. "Dari kapan kamu ada di sini?" tanyanya ketus.

"Barusan, Ma. Alisa cuma mau ajak Mama.. sarapan bareng," jawab Alisa dengan senyuman tipis.

Dian menghela napas kasar. "Saya bisa sendiri. Pergi,"

"Ma.. Alisa udah siapin buat Mam--"

"Saya bilang, pergi!"

Gadis itu mengangguk sambil mengukir senyuman tipis. Lagi-lagi ajakannya selalu di tolak oleh Dian. Tak apa, lagipula... ini adalah hal yang biasa untuknya.

Wanita itu menghembuskan napasnya. Ia beranjak duduk di ranjang dengan ekspresi wajah yang sulit untuk di artikan. Dian bisa menebak pikiran Alisa saat ia berbicara di telepon tadi.

Pasti gadis itu berpikiran bahwa ia begitu cepat melupakan Anggara bukan?

Jika di ingat-ingat kembali, pernikahannya dengan Anggara terjadi karena perjodohan mereka. Dulu Dian sama sekali tidak mempunyai perasaan sedikitpun pada anak sulung keluarga Dewantara itu. Tapi setelah mengenal Anggara beberapa bulan, ia mulai jatuh hati.

Anggara dan Dian pernah sama-sama menolak perjodohan tersebut. Terlebih Anggara yang sudah mencintai seorang perempuan jauh sebelum Dian hadir dalam kehidupannya.

Hal ini membuat Anggara bersikeras untuk menjalin hubungan dengan perempuan yang ia cintai. Saat itu, Anggara sama sekali tidak peduli akan ucapan Ayah dan Ibu-nya, maupun tentang pernikahannya dengan Dian.

Namun seiring waktu berjalan, perlahan mereka saling menerima satu sama lain. Hingga entah kenapa pada suatu waktu... Anggara berubah saat ia membawa seorang bayi kecil ke dalam rumah tangganya.

FAREWELL: Our Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang