42|UKS, luka, dan penyembuhnya

312 24 3
                                    

Gadis dengan seragam Wismaraja dan rambut lurus yang diikat menjadi satu itu tengah menghubungi seseorang lewat ponselnya. Untuk beberapa detik, seseorang yang ia hubungi itu belum menjawab panggilannya. Hingga akhirnya panggilan itu tersambung.

"Halo, Ma?" sapanya dengan suara yang agak parau.

"Ngapain telpon? Mau ganggu?" Bukannya mendapatkan jawaban dari sapaannya. Yang ia dapatkan malah jawaban ketus dari orang yang ia panggil.

Alisa hanya bisa menarik napas, sambil menyunggingkan sedikit senyuman dibibirnya. "Mama apa kabar? Mama sehat, kan? Sekarang Mama tinggal dimana? Alisa kangen. Rumah sepi gak ada Mama," Gadis itu malah menanyakan kabar sang Ibu dengan suara yang lembut, diakhiri dengan penjelasan apa yang ia rasakan selama di rumah tanpa Dian.

"Gak usah basa-basi. Mau apa kamu telpon?" jawabnya ketus tak satupun pertanyaan alisa yang Dian jawab.

Ada jeda diantara keduanya. Hingga Alisa membuka suara kembali. "Papa punya warisan buat Alisa, Ma." ujarnya.

"Warisan? Apa yang Anggara kasih buat kamu?!"

"Kata Om Raihan, Papa ninggalin sejumlah uang, satu rumah dan satu mobil buat Alisa." jawabnya.

Dian membuatkan matanya. Ia tak menyangka jika suaminya memberikan harta sebanyak itu kepada alisa. Hatinya bahkan tak sudi. Ia tak rela harta kekayaannya jatuh kepada Alisa begitu saja.

"Ma? Kita tinggal bareng lagi, yuk. Biar bisa sama-sama kayak dulu lagi, Alisa janji, Alisa bakalan turutin Mama." ujarnya kembali memasang senyuman.

"Kirim alamatnya sekarang."

Hanya itu yang Dian ucapkan. Setelahnya ia mematikan telepon secara sepihak. Tanpa basa-basi lagi, Alisa segera mengirimkan alamat rumah yang akan ia tempati, lewat aplikasi chat kepada Dian.

"Selesai. Berangkat sekarang," Alisa melirik jam tangan yang bertengger manis di tangan kanannya. Kemudian ia beralih menggunakan tas ranselnya, lalu beranjak dari kursi dan mengunci pintu rumah.

Setelah mengikat tali sepatunya dan berpamitan pada Nek Asri, gadis itu berjalan sembari membaca buku harian milik sang Ayah, yang Raihan berikan tempo hari lalu bersama berkas-berkas, barang-barang amanah ayahnya, kartu rekening, kunci mobil, dan kunci rumah,

Ia menyelipkan poninya ketelinga yang sengaja tak diikat. Kekehan kecil terdengar dari mulutnya. Tulisan tangan sang Ayah yang terus melukiskan cerita membuatnya terhibur.

ALISA AZALEA DEWANTARA

Ya. Hari terindah bagi saya. Hari paling terindah ketiga. Kelahiran anak saya yang kedua, putri kecil saya telah lahir. Dia cantik. Hidungnya sangat kecil. Tangan, kaki, dan jari-jemarinya pun sangat kecil. Tangisan dari ruangan bersalin membuat saya bisa bersujud, membuat saya bisa menarik napas teramat lega saat mendengar tangisan bayi mungil tersebut, yang memang putri kandung saya. Saya berjanji akan terus merawatnya, menjaganya, dan menafkahinya semampu, dan sekuat saya. Saya akan bekerja keras untuknya. Saya akan melakukan apapun untuknya. Putri kecil saya yang dimasa depan akan menjadi dewasa, dan pergi bersama laki-laki pilihannya. Darah daging saya, yang menjadi kewajiban untuk saya jaga. Terimakasih telah menghadirkan sosok bayi perempuan yang kedua kedalam hidup saya.

-Jakarta, Juli, 13, 2004

Alisa hanya membuka halaman bagian itu saja. Ia belum berani membuka halaman sebelumnya, atau setelahnya.

Kata-kata yang ditulis Anggara membuat air matanya turun membasahi pipi. Buru-buru ia menghapus air matanya. Ia tiba di halte. Tak ada yang menunggu bis, ataupun angkot.

FAREWELL: Our Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang