35

26.5K 2.9K 832
                                    

Alish mendribble bola basket kesayangannya. Ia berlari kecil kearah ring dan melemparkan bola itu hingga masuk. Sudah 2 jam ia berada dilapangan basket. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 tapi Alish enggan untuk beranjak dari tempat ini.

Lapangan ini. Iya lapangan ini adalah pemberian terakhir dari ayahnya Afsheen. Alish berhenti sejenak, ia berjongkok di tengah lapangan melipatkan kedua tangannya diatas lutut.

"Hiks... Katanya Papi mau nemenin Alish main basket lagi kalau lapangannya udah jadi."

"Kenapa Papi bohong?" cicit Alish. Air matanya sedikit menetes. Kesepian ini membuatnya teringat pada kedua orangtuanya lagi.

Tuk.. tuk.. tuk..

Suara pantulan bola terdengar dari belakang Alish. Bola itu menghantam punggung Alish. Untung saja sangat pelan sehingga tak membuat Alish kesakitan.

Alish buru-buru melihat dan benar saja sebuah bola basket kini sudah ada di belakangnya. Tapi ia tak tahu bola itu milik siapa, yang jelas itu bukan bola milik dirinya.

Tak lama Elden datang berlari kearah dirinya. Lelaki itu menggunakan baju basket kesukaannya Alish tau itu.

"Sorry Al itu bola gue," ujar Elden.

Elden sedang bermain basket dilapangan miliknya. Namun, karena ia terlalu tinggi melambungkan bola basket itu. Jadilah bola basket itu malah melewati tembok dan masuk ke lapangan basket milik Alish.

"Nih," Alish mengembalikan bola basket itu pada Elden. Ia berdiri setelah itu ia hendak pergi meninggalkan Elden.

"Al," panggil Elden.

Panggilan dari Elden membuat langkah Alish terhenti. Alish membalikkan badannya lagi tetapi ia berusaha tak menatap wajah Elden.

"Apa?" tanya Alish sambil menundukkan pandangannya.

"Liat wajah gue,Al," ujar Elden. Alish tetap saja menunduk.

"Al. Tatap mata gue sebentar, gue mau bicara serius sama Lo," ucap Elden dengan lembut.

Alish menarik nafasnya. Ia menatap Elden perlahan. Elden tersenyum melihat itu.

"Sekarang gue yang akan selalu ada di samping Lo Al. Gue akan selalu ngelindungin Lo dari kejahatan orang-orang, gue akan jadi orang yang paling terdepan untuk jagain Lo," ucap Elden.

Alish tak mengerti dengan apa yang Elden ucapkan. Ia memilih membalikkan badannya kembali untuk pergi daripada membuang waktu tidak jelas bersama Elden.

"Tunggu, Al."

Lagi-lagi panggilan Elden membuat Alish berhenti, tetapi kini Alish tak berbalik ia tetap saja membelakangi Elden. Elden melangkah maju kehadapan Alish.

"Apa bener udah gaada gue dihati Lo?" tanya Elden.

Alish terdiam sejenak. Ia bingung harus menjawab apa pada Elden. Ia tak tau harus bagaimana lagi. Selama ini pertanyaan itulah yang Alish hindari. Namun, mengapa sekarang orangnya langsung yang menanyakan hal itu padanya.

Ia tak habis fikir dengan lelaki dihadapannya ini. Dimana letak rasa malu yang dimiliki Elden. Apakah ia tak mengingat Raina kekasihnya? Apakah ia tak memikirkan perasaan kekasihnya itu.

"Apa Lo gak malu nanya hal itu ke gue? Sementara lo masih punya pacar," ujar Alish berusaha menjawabnya dengan tenang.

"Gue udah putus sama Raina," ujar Elden.

Alish pastinya sangat terkejut mendengar penuturan Elden barusan. Bukankah Elden sangat mencintai Raina hingga ia tega menamparnya waktu itu. Memori itu masih terputar jelas di kepala Alish. Tapi mengapa hal itu tak kunjung membuat perasaan Alish benar-benar memudar pada lelaki dihadapannya ini.

Antagonis HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang