33

20.5K 2.4K 116
                                    

Elden menuruni satu-persatu anak tangga. Ia turun kebawah untuk sarapan bersama kedua orangtuanya. Tapi langkah Elden terhenti ketika samar-samar mendengar percakapan kedua orangtuanya itu.

"Afsheen dan Vanya sudah dinyatakan meninggal dunia, Mas," ucap Tania pada Rendra.

"Bagus itu." Mendengar itu dahi Elden mengerut. Ia jadi penasaran dan ingin tahu lebih lanjut percakapan kedua orangtuanya itu.

Elden melangkah lebih dekat lagi. Ia bersembunyi dibalik pilar antara tangga dan ruang makan.

"Bukannya kamu seharusnya bersedih, Mas? Afsheen kan sahabat kamu juga," tanya Tania.

"Hahaha sahabat? Tidak, saya dekat hanya untuk memanfaatkan dia saja. Saya ingin mengambil perusahaan mereka. Kamu tau itu kan?" ujar Rendra.

"Iya juga, Mas. Kamu ini memang sangat cerdas. Lalu bagaimana rencana kita selanjutnya? Bukankah sekarang mereka masih mempunyai pewaris yaitu Alish?" ujar Tania.

Elden melihat ayahnya tersenyum disana. "Elden. Bukankah Alish mencintai Elden? Kita manfaatkan saja anak yang gak berguna itu."

Mendengar itu Elden mengepalkan tangannya. Ia tak menyangka orangtuanya akan segila ini hanya untuk mendapatkan harta.

"Tapi sepertinya, Mas. Tidak ada lagi yang bisa kita harapkan dari Elden. Alish sudah tidak dekat dengan anak kita. Yang aku liat dia lebih dekat dengan Arga, teman sekolahnya. Bahkan saat ke rumahnya pun aku liat dia sangat dekat dengan ibunya Arga," ujar Tania menjelaskan apa yang terjadi.

"Kalau gitu kita pakai cara lain," ujar Rendra dengan santainya.

"Cara apa?" tanya Tania.

"Lihat saja nanti," ucap Rendra.

Muak dengan percakapan kedua orangtuanya. Elden kembali menaiki anak tangga. Ia sudah tidak nafsu makan. Pikirannya tertuju pada apa yang dikatakan ayahnya barusan.

"Apa yang papah rencanakan?" batin Elden saat sudah berada di balkon kamarnya.

"Arghhhh!" Elden mengacak rambutnya frustasi.

Sepertinya rencana ayahnya berhubungan dengan keselamatan Alish. Elden harus menjaga Alish. Ia sebisa mungkin harus selalu berada di dekat Alish. HARUS.

Elden melihat kearah balkon Alish. Ia penasaran apa yang sedang Alish lakukan didalam kamarnya. Apakah gadis itu sudah turun untuk sarapan? Entahlah.

***

Hari Senin.

Sebenarnya Alish berniat tak akan masuk sekolah dulu hari ini. Tapi, kedua sahabatnya Niana dan Shasa memaksanya untuk tetap pergi sekolah. Mereka bilang mereka tidak mau Alish berada sendirian di rumah.

Tok.. tok.. tok..

Shasa mengetuk kamar Alish dari luar.

"Alish cepetan nanti kita telat," teriak Shasa dari luar.

Shasa segera masuk membuka pintu kamar Alish yang tidak dikunci.

"OMG... lo masih aja bengong didepan cermin. Cepetan pake kerudungnya, gue tunggu di depan, oke."

Alish pun buru-buru memakai kerudungnya. Ia tak mau membuat Shasa dan Niana juga telat karna dirinya. Apalagi sekarang ada upacara bendera. Bisa-bisa dihukum kalau telat.

"Lish lo gak apa-apa kan?" tanya Niana ketika melihat Alish baru saja turun.

Wajah Alish terlihat murung tak seperti biasanya. Apakah Alish masih memikirkan kedua orangtuanya.

Antagonis HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang