4. Rafa Berkunjung (Revisi)

1.3K 105 4
                                    

"Ini martabak manis, tapi masih kalah manis sama senyum Ibu."

~Rafa Dwindra Athaya~

Jangan lupa ngaji dan shalawat Nabi🤍

Tetap jaga iman dan imun🤍

Happy Reading!

***

"Kapan kamu menikah, Fa?"

Khafa tidak meneruskan langkahnya menuju kamar, melainkan memilih untuk berbalik dan menatap sang ibu dengan penuh perhatian. Tatapan tajam yang dilemparkan Melza membuatnya merasa lelah karena pertanyaan yang selalu sama menghantuinya setiap hari. Sejak rencana pernikahannya batal, hubungannya dengan orang tua terasa semakin renggang.

Dengan langkah yang mantap, Khafa mendekati ibunya sambil mencoba tersenyum setulus mungkin. "Doakan yang terbaik untuk Khafa, Bu," ucapnya dengan lembut.

Melza hanya memutar bola mata dengan sikap malas. Ia sudah bosan dengan jawaban yang diberikan oleh putrinya. "Sampai kapan, Fa? Ibu muak melihatmu masih single sampai sekarang!"

"Kamu harus menyadari, Khafa, bahwa kamu sudah menjadi beban keluarga. Gaji kamu sebagai guru tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita. Lebih baik kamu menikah untuk mengurangi pengeluaran," kata Melza tanpa belas kasih.

Mereka memang keluarga sederhana. Ayah dan ibu Khafa hanya memiliki warung nasi sederhana. Sementara itu, Khafi baru kehilangan pekerjaannya, dan Khafa sendiri hanya seorang guru honorer di sekolah swasta.

"Ibu malu dengan tetangga karena kamu belum menikah!" tambah Melza.

Senyuman Khafa luntur mendengar kata-kata ibunya. Ia tidak menyangka bahwa ibunya bisa mengucapkan sesuatu seperti itu. "Bu, beri Khafa waktu untuk menyembuhkan luka ini. Luka akibat penghianatan tidak bisa sembuh dengan mudah," ucap Khafa dengan sabar.

Melza hanya melipat kedua tangannya sambil mendelik sebal. "Butuh waktu! Butuh waktu! Sampai kapan, Fa? Sudah dua tahun, lho," ujar Melza dengan tegas.

"Tolong, Bu, pahami Khafa kali ini," pintanya, lalu pergi ke kamarnya dengan hati yang terluka.

Khafi yang mendengar pertengkaran antara ibu dan kakaknya mendekat ke Melza. "Mengapa Ibu selalu mendesak Khafa begitu, Bu? Apakah begitu memalukan, Bu, jika Khafa masih single di usia 23 tahun? Padahal, Khafi seumuran dengan Khafa, tapi Ibu tidak pernah menyuruh Khafi nikah cepat."

"Kamu laki-laki, Khafi. Berbeda dengan Khafa!"

"Beda apa, Bu? Seharusnya kata-kata seperti itu lebih pantas diucapkan ke Khafi, Bu karena Khafi yang sekarang menganggur di sini. Mengapa Khafa yang disebut sebagai beban keluarga?"

Melza memilih untuk tidak merespons ucapan putranya dan memilih untuk pergi daripada terlibat dalam debat dengan Khafi yang tidak akan berujung. Melihat itu, Khafi menghela napas, kemudian menuju kamar saudari kembarnya.

Khafi mengetuk pintu kamar Khafa. "Boleh masuk, Fa?"

"Aku butuh waktu sendiri, Fi," jawab Khafa dari dalam.

"Baiklah, kalau lo butuh sesuatu, panggil gue, ya, Fa!" seru Khafi sebelum pergi.

Khafa ingin sendiri untuk saat ini. Ia merasa sangat terluka dengan perkataan ibunya. Ucapan itu menusuk hatinya terlalu dalam. Gadis itu menangis seraya merasakan sesak di dadanya. Jika diberi pilihan, Khafa tidak ingin gagal dalam pernikahannya.

"Mengapa Ibu selalu menyalahkan aku?" pikirnya sambil menangis.

***

Malam itu, atmosfer pertandingan futsal antara tim Rafa dan tim Juned dipenuhi antusiasme. Rafa, sebagai kapten tim, dengan penuh dedikasi mengatur strategi permainan, disertai dengan perhatian serius dari rekan-rekannya, termasuk Revan.

Kepingan Hati (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang