Dia tak henti-hentinya mengukir senyuman di bibir tipisnpy. Sorot kamera yang menyorotnya dengan angel—yang pas membuat wajah tampannya ter-ekspos sempurna. Dia terlalu tampan tuk dikatakan sebagai manusia biasa. Tidakkah dia terlihat seperti pangeran—yang ada dalam cerita dongeng? Garis wajah yang sempurna, bibir yang tipis, alis tang tebal, serta rahangnya yang tegas. Dia benar-benar bak pangeran dongeng—yang ada di dunia nyata.
Dia lah Hendro Atmajaya. Seorang chef muda yang sangat terkenal seantero Indonesia. Selain itu dia juga menjadi idola anak-anak muda—pun tak tertinggal jua ibu-ibu yang sudah berumahtangga berteriak histeris di rumah masing-masing tiap pali menonton acaranya. Tiap pagi di hari minggu, ia menemani para pemirsa dengan program memasaknya di salah satu chanel televisi. Dia juga berbagi berbagai macam resep masakan terutama masakan nusantara. Baginya masakan nusantara adalah jenis masakan—yang paling utama dan utama—yang harus ia perkenalkan kepada khalayak.
Beberapa saat kemudian seluruh kru yang ada di lokasi syuting—pun bertepuk tangan. Bagaimana tidak? Program memasak hanyalah program mingguan biasa, tetapi memiliki rating—yang jauh lebih tinggi dibandingkan acara-acara lainnya. Pengaruh Hendro di industri hiburan memang bukan main-main. Dia merebut hati tiap orang yang mengaguminya, dan menantikan acaranya setiap hari minggu tiba. Hendro pun membungkukkan badan sebagai bentuk rasa hormatnya pada seluruh kru baik kepada yang muda ataupun yang tua. Sebab baginya seluruh kru yang ada sudah bekerja sangat keras demi kelancaran jalannya syuting.
“Perfect!“ puji Satya, sang sutradara sambil menyentuh pundaknya tuk memberi semangat.
Hendro pun tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.
Terlahir sebagai seorang putera dari pebisnis—yang papa rapa tidaklah membuat ia lantas menjadi pribadi yang angkuh, sombong, dan congpak. Hendro memiliki prinsip agar di mana pun ia berada—pun harus menjunjung tinggi sifat rendah hati. Jangan pernah besar kepala—apalagi sampai bangga diri. Hendro tidak segan-segan menolong para kru—yang tengah beberes di lokasi syuting. Lagi peralatan masak—yang berserakan di atas kitchen set juga sudah menjadi tanggungjawabnya.
Di sela-sela kesibukannya merapikan kitchen set. Sang asisten yang ber-nama Rio—pun menghampiri ia dengan nafas yang terengah-engah. “Lu abis maraton apa gimana?“ ucap Hendro sambil mengelap gelas-gelas di atas meja. Rio pun menatap ia sambil berkacak pinggang. “Nafas dulu, Yo. Ntar koit lu baru tau rasa,“ ucap Hendro terkekeh geli melihat tingkah sang asisten sekaligus sahabat. Pio pun mencoba mengatur nafas, dan berkata, “Singa bro! Singa!“.
Singa?
Rio pun memberikan ponsel milik Hendro—yang sedari tadi berdering kepada Hendro; di mana terdapat banyak panggilan tidak terjawab dari sang ayah. Oh? Jadi, ini alasan mengapa Rio mengucapkan kata singa? Ternyata sosok sang ayah lah yang dikatai singa oleh Rio. Rio benar-benar sesuatu. Seandainya dia berani mengatakannya secara langsung di hadapan Efendi. Entah bagaimana jadinya nasib Rio ke depannya nanti. Jikalau melihat watak Efendi, pastilah Rio akan diberi peringatan alias ancaman.
“Heh, apa papa se-luang itu ampe nelpon aku berkali-kali kek gini?“ batin Hendro.
Efendi bukanlah tipe orang yang memiliki waktu se-luang itu tuk menghubungi anak-anaknya. Dia adalah sosok pria yang gila kerja, dan menjadikan tumpukan berkas putih—yang membosankan itu sebagai hidupnya. Dia menganggap jikalau anak-anaknya yang berharap secuil perhatian dari sosoknya itu tidak lebih penting dari perusahan miliknya—yang dibangun dengan dengan segenap jiwa dan raga. Hendro ataupun Elang bagaikan hanya hiasan di atas meja—yang se-akan dapat diganti, lalu dibuang kapan saja seperti sang ibunda dahulu kala.
Hendro pun meletakkan kain lap—yang sedari tadi berada dalam genggamannya, dan memerintahkan Rio tuk menggantikannya membersihkan peralatan masak yang ada di sini, lalu diantarkan ke restoran miliknya. Pio mengadak rambut ia gusar sambil marah-marah. “Lu suruh yang lain aja! Gue mau ngedate ama Susan!“ ucap Rio ketus. Hendro tampaknya harus memberi empat jempol pada sang sahabat—yang berani-beraninya menolak perintah dari majikan. Ini anak gue ancem dikit pasti langsung kicep, batin Hendro.
