Incomplete 26

360 35 1
                                        

Beberapa hari ini pemberitaan mengenai sepasang suami istri—yang tega menganiaya putera sendiri dengan alasan tidak masuk akal pun semakin memanas. Di depan rumah sakit tempat Lann praktik—serta di kantor firma hukum tempat Shea bekerja dipenuhi oleh para wartawan. Hal ini pun diperkuat dengan beberapa bukti nyata. Heh, tentu saja sulit bagi Lann dan Shea untuk berkilah. Lann dan Shea? Tentu saja keduanya memilih diam. Karna menurut mereka tidak ada gunanya menanggapi pertanyaan dari para wartawan—yang haus akan berita gosip; tidak perduli benar atau salah.

Di lingkungan sekolah sendiri; Prima mendapat simpatik dari teman-teman satu sekolah. Prima juga tidak ingin angkat bicara, dan memilih diam seribu bahasa. Prima muak melihat semua orang menatap iba pada dirinya. Prima pun memilih menyumpal kedua telinganya dengan earphone sambil membaca komik one Piece volume 1, chapter 1, berjudul Romance Down—atau disebut juga dengan boken no yoake dalam bahasa Jepang. Sampai-sampai Prima sendiri tidak menyadari, jikalau Somchair, sang guru matematika telah masuk ke dalam kelas.

Tiada satu pun teman Prima—yang mau menegur. Tentu saja karna mereka takut dengan sosok guru killer si Somchair itu. Hih, bisa-bisa masuk BP gue, batin salah seorang murid di kelas. Somchair menatap Prima datar. Percuma juara kelas; jikalau attitudenya jelek, batin Somchair. Ia pun melangkahkan kaki ke meja Prima. Lalu, ia tarik paksa MP3 miliknya. Prima tersentak kaget. “Ma-maaf, pak,“ ucap Prima meminta maaf. Tatapan Somchair terlihat sangat tidak bersahabat. “Cepat berdiri di depan pintu,“ ucap Somchair dingin.

Prima juga tidak ingin membela diri, karna ia tau ia juga bersalah dalam hal ini. Ia pun berdiri di depan pintu dengan senang hati. Begini saja lebih baik. Daripada ia harus mendengar kalimat-kalimat iba dari teman satu sekolah. Huh, di sisi lain ia juga merasa senang. Lann dan Shea kena batunya juga haha. Tapi, tunggu dulu. Kira-kira siapa yang nyebarin berita itu, ya? Ampe ada bukti otentiknya segala?, batinnya heran dengan mata menyipit. Padahal ia tidak menceritakan masalahnya sendiri kepada siapapun. Chen saja tidak tau menau. Jadi, bagaimana bisa ada orang lain yang mengetahuinya?

Jam istirahat pun tiba; tepat setelah mata pelajaran matematika berakhir. Semua murid berhamburan keluar kelas setelah dipersilahkan oleh Somchair. Berbeda dengan Prima—yang malah duduk saja di bangkunya sendiri. “Kamu nggak ke kantin ato maen bola gitu?“ tanya Somchair sambil merapikan buku. Prima pun menatap sang guru. “Bosen,“ sahutnya singkat. “Mau ngobrol sama bapak nggak? Di ruang BP?“ tanya Somchair lagi. Prima pun mendelik. Gila kali gue ngobrol ama nih guru di ruang BP? Bisa-bisa gue dikira kena kasus lagi, batin Prima.

“Uhm, nggak deh, pak. Hehe,“ sahut Prima menolak. “Kenapa? Takut?“ ucap Somchair menohok. “Errr itu.. Takutnya mereka pada ngira saya kena kasus, pak. Kan nggak lucu?“ ucap Prima berterus terang. “Ok, kalo gitu biar bapak aja yang duduk di depan kamu,“ ucap Somchair, lalu duduk di depan Prima. Prima terkejut. Ini pak guru lagi kena angin apa dah malah duduk di depan gue?, batin Prima heran. Dih, ganteng juga nih pak guru kalo diliat dari deket?, batin Prima lagi. Ini pertama kalinya Prima bisa duduk sedekat ini dengan Somchair. Dia memang tampan dan rupawan. Tapi, sebagian besar murid malah memilih menjauh, dan berusaha untuk tidak bersitatap sama sekali dengan sang guru. “Kamu nggak ijin pulang sekolah lebih cepet ato bolos aja gitu?“ tanya Somchair. “Lagian buat apa juga?“ Prima bertanya balik. Somchair pun tersenyum tipis. “Kalo kamu ada niatan mau kabur dari rumah. Bapak siap nampung kamu di apartemen bapak sendiri.“ ucap Somchair. Kontan kedua alis Prima pun saling bertautan.

Dua hari pun telah berlalu. Huft, Chen menghembuskan nafas lega. Namun, satu hal—yang membuat Chen kesal hingga saat ini, yaitu ia masih tetap harus berada di kursi roda. Sepanjang jalan menuju lobi hingga pintu keluar rumah sakit. Hendro menundukkan kepala sambil tersenyum; sebagai bentuk sapaan kepada setiap orang—yang berpapasan dengan dirinya. Ia juga berterima kasih kepada dokter serta perawat—yang telah setia membantu perawatan Chen hingga membaik seperti sekarang ini.

Incomplete [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang