내 인스타 염탐했어? [nae in-seu-ta yeom-tam-haess-eo?] lu ngestalk ig gue?
----------🌟----------
Dian menata piring-piring di atas tikar untuk persiapan makan malam. Fendi dan Hendro saling berbincang-bincang tentang masalah bisnis. Sedangkan Chen asyik bermain gadget—tanpa mau tau dan peduli akan apa yang sedang dibicarakan oleh dua pria dewasa itu. Dian pun menatap mereka bergantian satu per satu sembari menaruh lauk pauk. Chen mengerling—mencoba melihat ada menu makanan apa saja di sana. Huft, Chen pun menghela nafas. “Kenapa, Chen? Kok ngebela nafas gitu?“ tanya Dian.
“Sate Klatak aku mana?“ Chen bertanya balik. Dian pun menatap Fendi sebentar. Duh, mana Dian lupa lagi bikinin Sate Klatak buat Chen. Bisa-bisa Chen ngambek berat ini, batin Dian. “Mama kelupaan, Chen. Makan yang ada aja~“ sahut Dian. “Kenapa mama hari ini malah bikin gudeg sama krecek?“ tanya Chen. “Errrr,“ gumam Dian bingung. “Kan mama tau kalo aku sama papa nggak terlalu suka gudeg?“ ucap Chen menohok. Suasana di ruang makan pun jadi hening. Chen terlihat tidak suka; saat Dian tiba-tiba malah memasak menu seperti ini; padahal Dian sama sekali tidak pernah membuat gudeg—setelah tau bahwa Chen dan Fendi tidak suka.
“Mama sengaja bikin ini buat nih orang? Tapi, mama malah lupa sama sate klatak aku?“ cetus Chen marah. Menurut Chen; Dian telah berbuat tidak adil. Hendro itu orang baru di sini. Tapi, kenapa Dian malah cuma ingat makanan kesukaan Hendro saja? “Maafin mama, Chen. Mama beneran lupa,“ ucap Dian. Sungguh Dian benar-benar lupa. Dian sama sekali tidak ada maksud pilih kasih atau apapun. “Chen, makan aja apa yang ada, kamu bisa makan yang laen, kek ayam kampung, telur, sama sambel krecek,“ cetus Fendi.
Chen mendengus. “Chen, jaga sopan santun kamu,“ tegur Fendi dingin. Hendro pun menatap Chen. Chen keliatan marah banget, batin Hendro. Dia sudah bukan si kecil Chen yang selalu penurut, dan menyambut kedatangan pamannya sendiri dengan suka cita. Di usia Chen yang sudah menginjak 17 tahun ini, dia terlihat lebih keras kepala, dan susah diatur. Huft, sepertinya Hendro harus ekstra sabar untuk menghadapi Chen ke depannya.
Chen pun berdiri. Dia ke dapur mengambil ulekan. Lalu, ia kupas bawang putih satu butir; ia tambahkan msg dan garam sedikit; diulek hingga halus; baru disiram dengan minyak goreng panas secukupnya. Chen pun kembali sembari membawa ulekan. Ia ambil sepotong ayam kampung bagian paha, dan ditaruh di atas ulekan bawang putih dan cabai. “Aku makan di kamar aja, ma,“ ucap Chen. Ia pun membawa makanannya ke kamar. Di sana Chen makan sambil menonton anime.
Fendi menghela nafas sambil geleng-geleng kepala. “Biarin aja mas,“ seru Hendro. Fendi pun menatap Hendro iba. “Gara-gara kamu sih, Hen.“ ucap Fendi malah menyalahkan Hendro, terdengar separuh bercanda dan separuhnya lagi serius memang. “Udah biarin aja tuh anak makan sendiri. Oh iya Hen, kamu mau tinggal di sini ato gimana? Sepi banget ini rumah, Hen~ Gegara Chen udah gede,“ ucap Dian. “Kamu mau anak kita kerdil gitu nggak berkembang? Kalo ngomong suka ngasal deh,“ cetus Fendi sebal. Huh, memangnya anak-anak bakalan kecil selamanya apa?
Hendro terkekeh mendengar curhatan Dian. “Aku nginep doang mba di sini dua hari,“ ucap Hendro. “Kok dua hari?“ ucap Dian heran dengan kedua alis saling bertautan. Baru pulang dari Italia, Hendro malah menginap dua hari saja? Dia ini nggak kangen sama keluarga di sini apa? Trus sama Chen juga, batin Dian tidak senang. “Udah beli apartemen mba, di Terban. Ini lagi nunggu diberesin doang, lusa baru bisa ditempatin,“ sahut Hendro.
Dian dan Fendi menatap Hendro datar. “Kenapa mas mba?“ tanya Hendro heran akan tatapan aneh keduanya. “Kenapa nggak tinggal di sini aja sih, Hen? Gede ini rumah, trus kamu juga bisa ketemu Chen tiap hari,“ ucap Dian. “Ponakan nggak tau diri,“ timpal Fendi sambil memanyunkan bibir. Hendro pun tersenyum simpul. Kalau boleh jujur, Hendro juga ingin tinggal di sini saja, bisa melihat Chen setiap hari, setiap waktu, dan setiap detik. Tapi, di sisi lain Hendro juga tidak ingin terlalu menekan Chen—pun Hendro juga butuh privasi.