Incomplete 37

397 31 2
                                        

Hujan turun membasahi bumi hingga percikan airnya turut membuat dinding-dinding kaca nan bening buram. Lagu yang menggema dengan judul yang sama, Hujan. Salah satu lagu yang dinyanyikan oleh grup band ber-nama Utopia—pun memberi nuansa akan betapa manisnya sebuah kenangan lama—yang takkan pernah lekang oleh waktu. Dia mungkin derita, tetapi di sisinya terdapat sebuah cerita—yang pan membuat bibirnya tersungging bahagia. Letih sirna oleh kenangan yang telah menjadi hiasan di langit-langit hati yang kosong.

Cafe sekaligus restoran ber-nuansa vintage itu tetap ramai pengunjung, meskipun hujan sedang deras-derasnya. Di sana tidak hanya ada muda-mudi yang menikmati masa remajanya di sela-sela hujan, tetapi juga ada para orang tua beserta anak-anaknya yang makan bersama bak sedang berlibur di sebuah destinasi wisata. Lagi dan lagi, lirik yang berbunyi, “Aku selalu bahagia saat hujan turun, karna aku dapat mengenangmu untuk diriku sendiri.“ mengingatkan Ferdian akan sosok Fardan. Benar. Sebab hanya di saat hujan sedang turunlah ia benar-benar dapat berdamai dengan dirinya.

Ferdian melempar pandangannya ke luar sana. Barangkali dia menampakkan diri bersama senyuman yang terpatri. Sungguh mustahil. Benar-benar mustahil. Jikalau hanya angan mengapa rasanya begitu membuncah hingga letupannya terasa sangat perih? Salah satu waiter pun menyentuh pundaknya seraya memberikan amplop ber-warna coklat yang sepertinya dari pengadilan agama. Sebab tertulis jelas di permukaan amplop tersebut. Ferdian bertanya-tanya dalam hati mengapa pengadilan agama mengirimi ia sebuah amplop? Ferdian merasa sama sekali tidak memiliki urusan apa-apa di sana.

Pengadilan agama?

Sekelebat pikiran akan sebuah perceraian pun hinggap di benaknya. Ferdian mencoba menepis segala pikiran negatif dalam benaknya itu yang se-akan meminta pertanggungjawaban dari segala pertanyaan yang muncul. “Finna.. Billi..,“ gumam Ferdian. Demi sebuah kejelasan ia rela menerobos hujan. Demi sebuah kenangan yang beralasan ia rela mengarungi lautan. Demi sebuah rasa yang terkubur sangat dalam ia rela tenggelam dalam rembulan yang temaram. Tak perduli pada banyaknya mata yang memicing penuh tanya. Ferdian ingin terus mempertahankan pernikahan ini apapun yang terjadi, bahkan tanpa cinta sekali pun.

Ferdian bergegas masuk ke dalam apartemen, namun tiada seorang pun di sana. Di mana Finna dan Billi berada? “Billi..,“ gumam Ferdian. Dia berlari dan terus berlari. Ferdian teringat akan rumah kedua orang tuanya di Tebet. Sehingga ia pun mencoba menyusul ke sana. Oh, ternyata dugaannya benar jikalau Finna dan Billi benar-benar ada di sini. Bukan hanya Finna, tetapi seluruh anggota keluarga berkumpul—juga ada sosok Erden di antara mereka.

Erden?

“Pa ma?“ gumam Ferdian.

“Ganti baju kamu dulu, Fer,“ ucap sang ibunda.

Ferdian menggelengkan kepala. Biarlah tubuh ini basah kuyup hingga airnya mengering di badan dengan sendirinya. “Pagi ini aku dapet surat dari pengadilan agama, ma,“ ucap Ferdian. Kedua matanya memerah memandang sosok puteranya yang terlihat ceria dan tak mengerti apa-apa. Benar. Tiada rasa cinta di hatinya sedikit pun untuk Finna melainkan seluruh cintanya hanya ia beri untuk dua orang: Fardan dan Billi.

“Aku nggak setuju sama perceraian ini, ma. Finna, sampai kapanpun amu nggak bak—“

Erden pun memotong ucapan Ferdian dengan nada sarkas.

“Selama kamu bisa nahan semua kehancuran dari dua sisi. Silahkan pertahanin, dan asal kamu tau, Ferdian. Bukan cuma keluarga ini yang bakalan hancur kalo kamu kekeh buat pertahanin pernikahan kamu, tapi Fardan bakalan hancur juga.“

Ferdian pun memberikan tatapan membunuh se-akan ia kan menelan Erden saat ini jua. Tatapannya yang bengis itu melukiskan se-juta amarah yang membara.

“Dan asal kamu tau. Seandainya cinta Fardan ke kamu lemah, mungkin kamu bisa pertahanin rumah tangga kamu, tapi sayangnya cinta Fardan ke kamu lebih kuat dari apapun.“

Incomplete [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang